Jumat, 09 Desember 2016

Gadis Mangrove di Majalah Gadis


GADIS MANGROVE
Oleh Rien Dj

Gadis Mangrove, dimuat di Majalah Gadis edisi ke-23, November 2016

Suara (burung_edit.) rana yang dilepas terdengar di tengah kesunyian hutan bakau. Aku mendongak dari aktivitas mengambil buah bogem atau pedada yang berjatuhan di tanah berlumpur. Lagi-lagi aku melihat cowok itu. Seperti kemarin, dengan kamera moncong panjang dan tripod. Aku meneruskan pekerjaan. Pesanan sirup sedikit meningkat di musim panas. Syukurlah buah mirip kesemek dengan ujung datar itu sedang berbuah lebat.
Klik! Lagi-lagi aku mendengar suara rana dilepas. Kali ini, aku tak menoleh karena tahu siapa sumbernya. Meski dalam hati tertera pertanyaan, siapa cowok itu dan mengapa dua hari ini selalu datang ke kawasan hutan mangrove? Usianya sepertinya tak terpaut jauh denganku. Harusnya dia masih sekolah atau paling tidak kuliah, kecuali dia bekerja sambilan sebagai fotografer. Namun, fotografer yang datang ke sini biasanya menyapaku dan bertanya banyak hal demi kebutuhan hasil jepretannya. Cowok itu hanya memotret, kadang menatapku sekilas lalu sibuk mengintip lubang kameranya.
“Kenapa nggak minta Ayah saja yang mengambil bogemnya?” Ayah menyampirkan topi di gantungan dekat pintu. “Katamu sekarang sedang banyak tugas sekolah?”
Aku tersenyum. “Ayah, kan, sedang sibuk menerima tamu.” Sebetulnya bukan itu satu-satunya alasanku. Berada di dalam hutan bakau, menyentuh dedaunannya yang hijau bagiku seperti bercanda dengan sahabat. Kadang aku berbicara dengan kepiting, udang, atau menimpali cericit burung. Hutan mangrove ini telah menjadi jiwaku. Juga jiwa Ayah dan Ibu. 
Ada sejarah pahit sebelum akhirnya Ayah berjanji untuk membaktikan hidupnya demi hutan mangrove. Ayah dulu melakukan kesalahan dengan mengabaikan peringatan Ibu tentang efek menebang pohon mangrove hingga habis. Ayah baru tersadar setelah satu pemukiman hancur diterjang gelombang besar sebab tak ada akar-akar mangrove yang menjadi pemecah ombak besar.
Aku segera beranjak ke dapur dan membantu Ibu mengupas buah bogem satu per satu sambil menunggu kedatangan Mbak Ninuk dan Bulik Dian. Keduanya warga di sekitar hutan mangrove yang masih setia membantu kami di dapur. Membuat sirup dari bogem, membuat cake tepung buah tancang dan berbagai olahan makanan dari hutan mangrove.
“Tepung tancang kita sudah mulai menipis. Ibu mau mencoba mempraktikkan cake tancang basah seperti yang kamu tunjukkan kemarin, kata Ibu sambil menambahkan air ke dalam panci.
Membuat tepung tancang memang membutuhkan waktu lebih lama. Kemarin aku menemukan cara membuat cake tancang basah setelah browsing seharian. Artinya tancang tak harus dijadikan tepung kering dulu. 
***
Hari ini aku mengikuti Ayah naik perahu motor menyusuri pantai. Sementara aku akan mengumpulkan buah tancang dari hutan mangrove yang lebih jauh, Ayah akan mengecek apakah masih ada penduduk yang menebang pohon bakau. Ayah sudah sering memberi pengarahan bahaya menebang hutan mangrove. Namun, tak semua memiliki kesadaran yang sama. Ini bukan pekerjaan mudah. Ayah tahu persis itu.
Aku sudah duduk di dalam perahu ketika tiba-tiba cowok kamera itu muncul dan langsung meloncat ke dalam perahu, membuat perahu sedikit oleng. Aku mengernyit. Apa-apaan cowok itu asal numpang perahu Ayah?
“Sudah banyak objek foto yang berhasil dijepret?” tanya Ayah ramah.
“Lumayan, sih, Pak,” cowok itu memperbaiki duduknya saat Ayah menyalakan mesin dan perahu meluncur membelah pantai.
“Coba nanti ikut Iera ke hutan yang di sana. Mungkin Nak Iko bisa dapat objek berbeda dan lebih menarik.”
Oh, jadi nama cowok itu Iko? Nah, sejak kapan Ayah dan Iko berkenalan? Mengapa mereka tampak sudah akrab?
“Iera kamu bisa minta dipotret sama Nak Iko. Mumpung ada fotografer di sini,” kata Ayah sambil tertawa.
Aku mencelupkan tangan ke dalam air hingga membentuk alur di belakang. Kebiasaanku tiap menaiki perahu.
“Apaan, sih, Ayah. Iera, kan, nggak suka jual tampang.”
“Emang laku gitu tampang kamu dijual?” Tawa Ayah pecah di antara deru mesin perahu. Aku melirik tajam Iko yang ikut tertawa pelan.
“Ih, Ayah!” Aku mengerucutkan bibirku tanda kesal. “Fotografer yang datang ke sini, kan, nggak  cuma baru kali ini.” 
Ayah tertawa lagi sambil mengacak rambutku dengan tangan yang tak memegang kemudi.  Lagi-lagi dengan spontan aku melirik Iko. Duh, apaan sih aku ini? Iko memang jenis cowok good looking, tapi jangan sampai dia kege-eran karena aku sudah meliriknya untuk yang kedua dalam waktu belum 5 menit. Ups tunggu, kenapa dia mengarahkan mocong kameranya ke arahku? Nah, sekarang dia mengalihkan arah moncongnya agak ke atas. Aku merutuki diri sendiri. Mungkin tadi dia menemukan objek bagus di depanku.
“Kamu turun di sini?” suara Ayah membuyarkan pikiranku. Tanpa menunggu jawaban, Ayah menghentikan perahu dan aku meloncat turun. Iko ikut turun sambil mencangklongkan tali kameranya. Aku segera mengeluarkan kantong plastik besar dan memetik buah-buah tancang. Aku kadang harus berjinjit untuk meraih ranting agar dapat memetik buah yang mirip dengan okra ini.
“Boleh aku bantu?” Suara di belakang membuatku kaget dan aku segera memegang dahan sebelum hilang keseimbangan. Aku terlalu asyik memetik dan mengumpulkan buah tancang hingga tak menyadari ada orang lain bersamaku. Sejak masuk hutan Iko entah ke mana dengan kameranya.
“Boleh saja, kalau kamu nggak takut mengotori tangan dengan getah tancang,kataku berusaha sedatar mungkin, menutupi rasa terkejut sekaligus senang. Ternyata dia tak secuek seperti yang kukira. Dengan tubuhnya yang jauh lebih tinggi, Iko dapat cepat memenuhi kantong plastik ketiga.
“Sepertinya hanya keluarga kalian yang mengelola hutan mangrove ini.Iko memecah kebisuan.
“Ceritanya panjang,kataku.
“Aku masih punya waktu lama, kok, untuk mendengar ceritamu.” Iko tersenyum.
“Memangnya kamu libur panjang? Jangan bilang kamu pengangguran. Melihat tampangmu tak mungkin kamu bukan anak sekolahan atau anak kuliahan.” Entah bagaimana tiba-tiba aku mencerocos ingin tahu.
Iko tergelak. “Aku memang bukan anak sekolah atau kuliah dan saat ini pengangguran.”
Pengangguran bertampang parlente? Kecuali kau anak orang kaya. Tapi ngapain anak orang kaya kelayapan di hutan mangrove seperti ini. Berhari-hari pula. Bukannya hobi orang kaya itu kelayapannya di mal atau di café?” Lagi-lagi aku mencerocos. Untunglah suara mesin motor perahu Ayah terdengar. Mulutku langsung menutup. Tanpa menunggu jawaban Iko aku mengangkat dua kantong plastik tancang. Ayah yang akan mengangkut kantong-kantong lainnya. Kulihat Iko juga membawa dua kantong plastik.
 Kami pulang tanpa banyak melakukan percakapan. Aku diam tak berani melanjutkan obrolan. Kata Lia, sahabatku, banyak teman menganggapku sombong karena aku hampir tak pernah menyapa atau mengajak bicara mereka lebih dahulu. Sebetulnya bukan begitu. Mungkin karena sejak kecil aku lebih bisa bicara dengan hutan mangrove dan isinya.
“Kamu gadis Tarzan. Semoga saja suatu hari ada cowok seperti Jane yang datang dan mengeluarkanmu dari hutan lalu membawamu ke dunia yang lebih beradab,ledek Lia.
Aku biasanya langsung menarik kuncirnya. “Cowok kayak Jane? Enggak banget. Trus itu jenis cowok apaan? Cowok beneran atau setengah cowok setengah cewek?” balasku yang langsung disambut dengan tawa Lia yang kencang sambil memukul pundakku.
***
Sejak acara berperahu dan memetik tancang bersama Iko, kami jadi sedikit lebih akrab.
“Aku tak tahu kalau pohon mangrove ternyata punya jenis yang banyak,kata Iko saat kami berjalan menyusuri papan-papan kayu yang dibangun Ayah bersama beberapa warga sekitar. Papan-papan itu membentuk jalan setapak yang membelah hutan mangrove dan akan berakhir di tepi pantai. Ada dua gubuk untuk beristirahat dan dua tower yang dibangun untuk pengunjung yang ingin melihat pemandangan dari atas. Sayangnya dana dari pemda berhenti, dan berhenti pula orang-orang desa yang dulu ikut bekerja sama. Demi kebaikan vegetasi hutan mangrove juga sumber daya yang sangat terbatas, Ayah pun membatasi jumlah pengunjung. Hanya kadang-kadang Ayah menerima tamu dari pemerintahan, komunitas pencinta lingkungan, atau sekelompok mahasiswa yang ingin belajar tentang hutan mangrove.
“Memang banyak. Bahkan ada lebih dari 70 jenis. Hanya saja yang ada di sini baru sekitar 7 jenis saja.” Lalu aku menyebutkan satu per satu dan menunjukkan pohonnya pada Iko.
“Namanya cakep-cakep, ya? Avicennia alba, Acanthus bla bla bla, Bruguiera gymnorrhiza … eits tunggu!” Iko berhenti dan melafalkan nama latin pohon tancang itu lambat-lambat. “Bruguiera gymnorrizha … Iera Rizha!” Iko menjentikkan jarinya. Matanya menyipit seiring kekehan tawanya.
“Iya … iya … namaku memang diambil dari nama Latin pohon tancang. Ibu yang menamaiku.”  Aku ikut tertawa. “Untunglah aku tidak gendut. Bayangkan kalau namaku diambil dari pohon tancang yang buahnya panjang langsing mirip okra, sementara badanku bulat. Lebih cocok namaku Sonneratia caseolaris atau bogem.”
“Tapi, Sonneratia caseolaris tak kalah cakep buat nama,kata Iko nyengir.
“Ya sudah, simpan saja buat nama anakmu nanti,” candaku.
“Tergantung ibunya dulu, dong. Kalau ibunya juga pencinta mangrove, baru cocok,sahut Iko sambil melirikku.
Pipiku tiba-tiba terasa panas. “Jadi, untuk apa semua hasil jepretanmu?” aku mengalihkan pembicaraan. Iko tak hanya memotret kehidupan di hutan mangrove. Bahkan semua hasil olahan mangrove yang dibuat Ibu ikut menjadi objek fotonya. Aku agak khawatir dengan apa yang dilakukannya. Karena itu, aku diam-diam merencanakan sesuatu.
“Buat dokumentasi. Sekarang aku jadi lebih tahu banyak tentang mangrove dan sepertinya aku juga mulai jatuh cinta.”
“Jatuh ... cinta?” mataku melebar.
Iko terbatuk. “Ya ... aku mulai jatuh cinta pada hutan mangrove. Gila, ya, Indonesia. Punya hutan mangrove 2,3 juta hektar, terluas di dunia tapi tak banyak yang tahu. Padahal fungsinya begitu penting. Apalagi kalau dikelola dengan maksimal.” Iko menggeleng-geleng.
Aku kembali bernapas. Hampir saja aku kege-eran. Lagi. Entah kenapa makhluk kamera ini sering mengacaukan pikiran dan hatiku. Jangan sampai Lia tahu. Dia pasti akan langsung meledek kalau aku si Tarzan cewek telah dipertemukan dengan Jane cowok.
“Oh ya, aku besok harus pulang.” Entah kenapa Iko harus berpamitan. Pengunjung hutan ini bisa datang dan pergi sesuka hati.
“Boleh aku pinjam kameramu sampai besok?” Jantungku berdebar lebih kencang. Iko menatapku dengan alis bertaut. “Hmm ... aku tidak akan merusak kameramu,” kataku gugup. Aku harus berhasil meminjam kamera Iko. Ini sangat penting.
“Boleh saja,” Iko melepas tali selempang kameranya melalui kepala dan menyerahkan padaku. Aku lega luar biasa.
Sudah beberapa hari aku tak mendengar suara rana yang dilepas atau melihat tripod yang berdiri di tengah jalan dengan Iko yang membungkuk di belakang kamera. Pikiranku terpaku pada deretan foto di kameranya kemarin. Foto-foto yang hampir seminggu terakhir semua berhubungan dengan hutan mangrove. Ada burung-burung, kepiting yang sedang bersembunyi, udang, juga berbagai makanan hasil olahan ibu dengan plating yang cantik. Mataku melebar saat melihat fotoku sendiri di dalam perahu. Wajahku memang tidak begitu jelas, karena ada sejumput rambut menutupi satu sisi. Ada dua fotoku lainnya. Dadaku masih terasa sesak. Marah, malu, juga merasa pengecut. Paling tidak, aku berhasil mencegah Iko mengupload foto-foto hutan ini di instagramnya, hiburku.
“Anak gadis melamun pagi-pagi. Nggak baik, ah.” Ayah menepuk kepalaku. “Besok Nak Iko mau datang, lho.”
Aku terlonjak dari dudukku. “Ngapain dia ke sini lagi?” Suaraku seperti tercekik.
Ayah mengernyit. “Sepertinya kamu tak suka. Kenapa?”
Mulutku membuka tapi segera kututup rapat. Ayah tak perlu tahu. “Ah, enggak juga, kok.” Aku berusaha tersenyum meski kaku.
Hari ini aku tak bisa berpikir jernih. Aku menyusuri pantai dengan perahu sendirian. Aku membawa buku dan berniat belajar dalam kesunyian di atas perahu di antara hutan mangrove. Aku memakai perahu dayung, karena tak ingin terganggu dengan deru mesin diesel. Aku mendayung pelan-pelan. Sesekali berhenti dan membiarkan perahu mengapung sementara aku mengecek apakah jawaban soal yang kukerjakan sudah benar. Sayangnya kali ini aku tak bisa konsentrasi. Aku masih memikirkan foto-foto Iko sekaligus rasa bersalah.
Saat itu Tiba-tiba langit gelap. Menjelang kemarau cuaca memang tak bisa ditebak. Segera kudayung perahu berbalik menuju rumah. Aku tak mau terjebak dalam hutan. Lebih lagi suara geluduk (petir) mulai terdengar. Aku sedikit panik. Aku takut petir. Dayungku berayun cepat tetapi hujan lebih cepat turun. Aku segera menambatkan perahu dan berlari menyusuri jalan setapak. Suara petir tiba-tiba menggelegar. Aku tersandung papan yang agak mencuat.
Aku menggigil sambil mendekap buku-bukuku. Aku sampai di rumah dengan baju basah kuyup. Aku makin gemetar ketika melihat sosok yang tak ingin aku lihat. Iko. Aku segera masuk kamar mandi mengeringkan badan dan berganti baju. Suara petir masih sesekali terdengar. Aku duduk mencangkung di kursi dengan segelas teh panas. Iko ke sini pasti tidak dengan maksud apa-apa. Dia sedang menyiapkan kata-kata amarah padaku. Suara derit kursi mengalihkan pandanganku dari asap teh yang mengepul.
“Aku minta maaf.” Suaraku parau. “Aku hanya ingin menyelamatkan tempat ini dari efek foto-foto yang akan kamu unggah ke instagram.” Aku meneguk ludah. “Ada hal yang belum kamu tahu mengapa Ayah membatasi pengunjung yang datang. Bukan hanya khawatir dengan perilaku pengunjung yang suka membuang sampah seenaknya atau merusak fasilitas yang ada, tetapi banyaknya pengunjung akan membuat penghuni hutan mangrove seperti burung dan hewan lain tidak nyaman. Padahal mereka adalah bagian dari hutan ini. Karena itulah aku menghapus semua foto di kameramu.”
Iko menggeleng-geleng. “Dan kenapa kau begitu yakin kalau aku akan mengunggah foto-foto itu di instagram?”
Aku menatap Iko yang mengerutkan kedua alisnya. “Itu karena aku ...  melacak akunmu dan aku melihat kau suka mengupload foto-fotomu di sana.”
Helaan tajam napas Iko terdengar menusuk telingaku. Tiba-tiba dia beranjak dari kursi. “Hujan sudah reda,” gumamnya. “Sebetulnya foto-foto itu akan aku gunakan untuk mengikuti lomba fotografi. Sebagian untuk melengkapi artikel yang aku kirim ke majalah.”
 Jantungku seperti hendak meloncat. “Jadi ...?”
“Sudahlah,” Iko berderap keluar rumah sambil menyambar tas ranselnya. Aku masih berusaha mencerna perkataannya. Dan aku merasa bodoh dan malu.
“Ikooo!” Aku berlari mengejarnya sebelum dia menutup pintu mobilnya. “Tunggu! Kapan deadline lomba itu? Aku menyimpan file fotomu di flash disk-ku.” Aku merogoh kantong celana panjangku dan mengacungkan FD di depan wajah Iko.
Sudut bibir Iko tertarik keluar. “Tak perlu. Aku telah memback up semua foto itu sebelum kau pinjam.”
“Apa? Lalu kenapa kamu sepertinya marah padaku tadi?” Aku membelalak lebar. Aku kesal setengah mati. Lalu untuk apa dia kemari lagi?
“Aku marah pada prasangkamu, pada rasa tak percayamu padaku. Aku tidak bodoh dan aku tahu apa yang tak boleh aku lakukan demi hutan mangrove ini.” Iko menatapku tajam. Matanya berapi-api. “Untungnya kau cukup berani mengakuinya.”
Aku menunduk, dan rasanya ingin berlari ke tengah hutan mangrove atau berendam di pantai untuk mendinginkan rasa panas dari tatapan Iko.
“Maaf,” kataku gemetar sebelum berbalik masuk ke dalam rumah. Aku terlalu malu pada diriku karena apa yang telah kulakukan pada Iko.
“Kau tak ingin tahu tentang lomba itu?” suara Iko yang melembut menghentikan langkahku.
Aku menoleh dengan ragu-ragu. Sekarang Iko telah berdiri tegak di sisi mobilnya. “Jadi, bagaimana lombanya?” aku belum berani menatap Iko.
“Kau bisa mengucapkan selamat untukku.” Suara Iko diwarnai senyuman.
Aku mendongak. Rasa panas juga sesak yang menggelayutiku sejak tadi seperti menguap. Dadaku terasa sejuk dan seringan bulu. “Selamat,” suaraku bergetar. Ada buncah bahagia di dalamnya.
“Begitu saja?” tanya Iko sambil menaikkan alisnya. “Pendek amat.”
“Hah?” Aku kebingungan. Memangnya ucapan apa lagi yang harus aku katakan?
“Pamit sama ayah ibu. Kita akan makan-makan di luar untuk merayakan kemenanganku.”
Aku masih diam terpaku.
“Kamu tak mau?” suara Iko terdengar kecewa.
Aku buru-buru mengangguk dan segera berlari ke rumah.
“Jangan salah, kamu yang harus membayar nanti sebagai hukuman,” kata Iko setelah aku duduk di kursi penumpang.
“Hah? Mana bisa begitu?”
Iko tergelak melihat ekspresiku. “Pokoknya aku minta ganti rugi.” Iko tersenyum lebar sementara aku jadi waswas. “Kau masih ingat tentang nama Sonneratia caseolaris waktu kita jalan-jalan di hutan?”
Aku langsung memukul bahu Iko. “Aku masih SMA, tahuuu!” Enak saja dia ngomong. Lagian dia juga baru mau kuliah.
Iko menghindari pukulanku. “Bukan sekarang tapi 5 tahun lagi. Sekarang sih yang penting kita makan. Aku lapar.” Iko nyengir lebar.
Aku duduk bersandar menenangkan jantungku yang masih berdebar. Tarzan dan Jane. Lia pasti akan melonjak-lonjak sambil meledekku habis-habisan. 


Catatan:

Saya sengaja memposting naskah aslinya untuk dapat dipelajari cara memampatkan tulisan dan bagaimana cara editor bekerja.
Tulisan yang bertanda merah berarti dihilangkan dari naskah asli oleh editor majalah Gadis.
Nama tokoh utama di cerita itu sebenarnya Iera (iera-- dari kata brugu-iera) tetapi diganti jadi Lera oleh editor.
Pada kalimat pertama seharusnya "suara rana dilepas" tetapi sepertinya editor keliru memahami maksud saya sehingga diganti menjadi "suara burung rana ...."
Rana yang saya maksud sebetulnya adalah salah satu tombol pada kamera atau disebut juga shutter. Setahu saya saat dilepas, rana atau shutter akan berbunyi klik.
Ini jadi pelajaran buat saya untuk tulisan berikutnya mengenai istilah-istilah tertentu agar tidak berbeda persepsi.


BTS (Behind the Story) 



Naskah Gadis Mangrove ini cukup lama ngendon di folder komputer karena belum nemu ending yang asyik. Beberapa teman memberi masukan tetapi belum cukup membuat saya sreg. Syukurlah tiba-tiba saya mendapat ide setelah nongkrong lama di instagram.

Mengapa mangrove? Sebetulnya ini berkaitan dengan tugas saya sebagai PJ kelas cerpen remaja di grup Penulis Tangguh. Saya melempar ide tentang lingkungan. Padahal saya sendiri bingung mau menulis apa. Tiba-tiba pakjo alias pak bojo bercerita tentang hutan mangrove yang dikelola oleh seorang bapak dan anak perempuannya. Aha! Ide pun muncul. Buru-buru saya riset tentang hutan mangrove dan pohon mangrove. Saya takjub sendiri karena ternyata pohon mengrove tidak sesederhana yang saya ketahui selama ini. Seperti yang dikatakn Iera, ada lebih dari 70 jenis pohon mangrove. Fungsi hutan mangrove pun sangat penting. Selain itu, buah mangrove ternyata bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan.

Untuk benar-benar dapat feel-nya saya membaca berbagai tulisan tentang hutan mangrove. Ada blog milik mahasiswa UGM yang sedang PKL ke hutan mangrove di Bali dan beberapa blog pribadi lainnya. Ada beberapa web yang berisi daftar spesies pohon mangrove lengkap dengan nama latin dan foto-fotonya. Tentu saja youtube menjadi bahan riset paling asyik dan seru. Lebih dari 5 video youtube tentang mangrove yang saya pelototi dan catat. Bahkan saya jadi mengenal sosok bernama pak Sony yang mengembangkan buah tancang menjadi tepung pengganti gandum, sirup buah mangrove, dan beberapa jenis keripik mangrove.

Itulah yang saya lakukan untuk sebuah naskah remaja sepanjang 9 halaman atau sekitar 2000 kata.

Mungkin ada ingin tahu berapa lama saya menunggu naskah ini hingga dimuat.
Saya mengirim naskah pada 18 Juli 2016. Just info, perlu perjuangan dan kesabaran agar email kita bisa terkirim. Beberapa kali email saya mental.
Pada 31 Agustus tiba-tiba ada email pendek dari editor majalah Gadis yaitu Mas Farick Ziat: naskahmu masuk nominasi. Nunggu antrean. 
What? Saya bengong sebentar lalu buru-buru menghubungi mbak Yulina si Ratu Gadis untuk mengetahui maksud email itu. Dengan dada berdebar dan senyum lebar yang berusaha saya sembunyikan, saya menunggu si Gadis Mangrove tampil istimewa di Majalah Gadis.
Saya hanya mengabarkan pada Mbak Yulin dan pakjo saja. Pokoknya sebelum benar-benar tampil, saya akan keep silent.
Akhirnya pada edisi ke-23 bulan November, si Gadis Mangrove tampil cantik dengan ilustrasi yang cute!!! Suka-suka-suka.
Tambah suka karena kaget waktu mbak Yulin bilang honor cerpen 800 ribu. Padahal saya kira 500 ribu, beda sedikt dengan rubrik Percikan di Gadis. 
Alhamdulillah .... bisa untuk mengganti saldo yang kering kerontang karena terkuras event BBW.
Baiklah, sekian cerita ngecuprus dari Behind the Story si Gadis Mangrove.
     


17 komentar:

  1. Aaaawww, kereeeen... Waktu baca naskah ini aku dah feeling bakal lolos.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waow iyakah? Besok di-feeling-in lagi ya Kakak Izzah :D

      Hapus
  2. Aaaww, Ratu Gadis :'D

    Endingnya lanjut lima tahun lagi, ya, baca novelnya, hihi


    Btw, 800 ribu belum potong pajak :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai Ratu Gadis, dijadiin novel kali bagus ya? Ide mana ide.
      Pajak nggak usah dipikir, anggap sedekah ajah haha

      Hapus
  3. Mba Rien ..Uti diajak jadi remaja lagi dan hanyut dengan ceritanya yang penuh mskna dan kejutan. Really uti suka banget. Bajal sering mampir disini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks a bunch, Uti. Jadi ingat masa remaja ya Uti hihihi ...

      Hapus
  4. Aku tadi bingung baca bagian bewarna merah. Jadi tau tajamnya gunting editor Gadis.

    BalasHapus
  5. Aku tadi bingung baca bagian bewarna merah. Jadi tau tajamnya gunting editor Gadis.

    BalasHapus
    Balasan
    1. tajem ya Moma. pantesan susah masuk ke sana.

      Hapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  7. ngecuprusnya bawa rezeki.. cerpennya keren ^_^

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung dan memberi komentar.