Selasa, 09 Agustus 2016

Go Green - Percikan Majalah GADIS



 Naskah untuk Percikan di Majalah GADIS ini aslinya berjudul "Go Green, Sih ...". Ternyata ketika tayang kata "sih" nya dibuang dan jadilah judul "Go Green" saja. Naskah berjumlah 600-an kata ini menjadi kejutan bagi saya dan teman-teman di komunitas Penulis Tangguh karena hanya dalam waktu 2 pekan menunggu sudah dimuat.  Alhamdulillah. Honor pun cair sesuai jadwal dan jumlah nominalnya sangat lumayan.

Go Green
Oleh Rien Dj
“Enggak usah pakai tisu, Ma. Mulai sekarang pakai sapu tangan aja.”
Mama pusing dengan ceramah Mia. Dari mulai tak boleh beli tisu, ke mana-mana bawa botol minum, beli sayur bawa mangkuk sendiri alih-alih pakai plastik dari si penjual seperti biasa.
“Duh, ribet.” Itu keluh Mama dan si Jo, adik Mia.
“Ini demi masa depan bumi kita. Sekarang bumi mulai rusak karena ulah kita. Nebang pohon sembarangan. Sekarang malah ngebakar hutan. Mereka tak sadar kalau ngancurin masa depan!” Bibir Mia bergerak cepat, matanya melebar, tangannya bergerak ke sana ke mari.  
Mama dan Jo manggut-manggut.
“Mulai sekarang, Mama tak boleh buang plastik sembarangan. Lebih baik, sih, didaur ulang. Karena plastik butuh waktu 500 tahun untuk bisa hancur, padahal kita pakai paling cuma 5 menit!”
Mama dan Jo berpandangan. Kening mereka berkerut.
“Berita buruknya lagi, Indonesia menyumbang sampah plastik 10 persen di dunia. Penyumbang terbanyak setelah China. Malu, kan, kita?”
Mama dan Jo manggut-manggut. Lagi.
Jadi, sudah hampir sebulan ini Mia ikut dalam kelompok Ijoku. Itu karena, ketua Ijoku adalah Dana. Cowok cool, yang ke mana-mana menaiki sepeda federal-nya plus helm ala orang luar negeri. Sudah lama Mia pingin kenal, tak sekadar mengangguk ketika berpapasan. Sebetulnya Mia naksir juga, sih. Meski tinggal satu kompleks, tapi Dana tidak satu sekolah dengannya. Mau pura-pura pinjem buku atau soal tes semesteran, juga tak mungkin, karena Dana satu tingkat di atas Mia.
Ketika ada brosur yang dibawa mamanya sepulang PKK, Mia tak perlu berpikir lagi. Brosur berisi perekrutan anggota baru Ijoku. Duuh, Mia jadi semangat. Semangat ketemu Dana, sih, sebetulnya.
Waktu Dana menjelaskan sejarah Ijoku, misi dan visi, serta aksi yang dilakukan, dengan antusias Mia menyimak, tapi wajah Dana yang lebih dia hafal daripada isi penjelasannya. Sampai-sampai Dana senyum-senyum setiap kali melirik Mia.
“Aku bangga sama kamu, Mia,” puji Dana saat mereka menyebar brosur berisi ajakan menghindari pemakaian plastik, sekaligus memunguti sampah plastik di seluruh kompleks.
“Kenapa memang?” Mia sedikit gugup karena pujian Dana, sekaligus tak bisa menahan senyum.
“Aku pikir kamu anak mama yang manja.” Dana melirik Mia.
“Ih, enak aja nuduh!” Mia melempar botol plastik bekas air mineral ke arah Dana. Dana tertawa lepas. Pipi Mia memerah.
Sudah dua kali pertemuan, Dana tak keliatan. “Memangnya Dana ke mana, sih, Kak?” Mia tak tahan untuk tidak bertanya pada Bagus, pengganti Dana.
“Lho, kamu nggak tahu? Dana, kan,  kuliah ke Bandung.”
Bibir Mia melongo. Dana memang bukan apa-apanya Mia. Tapi, sejak bergabung dengan Ijoku, Dana dan Mia jadi akrab dan dekat. Bahkan Dana sering main ke rumah Mia. Apakah itu tidak cukup bagi Mia untuk tahu berita sepenting itu dari Dana?
Mia terpekur di kamarnya. Air mata menetes satu-satu. Gumpalan tisu bertebaran di seluruh tempat tidur, di lantai, di meja belajar. Sakitnya hati Mia.
Mama dan Jo terbelalak melihat kondisi Mia dan kamarnya. “Ih, Kakak, kok, pakai tisu, sih? Sedih, sih, sedih, tapi inget, dong, Kakak sudah menghabiskan satu pohon. Padahal satu pohon butuh waktu 6 ta … hmptt.”
Mia membekap mulut Jo lalu mendorongnya keluar kamar. Teganya, si Jo. Bukannya menghibur. Mia sekarang sudah tak peduli pada aksi-aksi Ijoku. Dia marah pada Dana. Dada Mia naik turun. Tiba-tiba layar tab-nya menyala. Dana? Mia ragu, tapi dia segera menghidupkan layar Skype. Wajah Dana yang lelah tapi penuh senyum tampak.
“Hai Mia apa kabar? Maaaf banget, ya, aku baru kasih kabar. Semua memang serba mendadak. Oh ya, aku sudah minta Bagus supaya mengangkatmu jadi sekretaris Ijoku. Mau, kan, Mia?” Senyum Dana lebar.
“Em .. em … aku.” Mia kebingungan. Dia sudah telanjur marah, ternyata Dana masih ingat padanya.
“Eh Mia, itu di sampingmu apaan, sih?” Wajah Dana makin besar saat mendekat ke layar, berusaha melihat.
“Oh … ini prakaryaku,” Mia cepat-cepat menyambar gumpalan-gumpalan tisu sekenanya. Di pintu kamar Mia, Jo tertawa cekikikan.