Jumat, 09 Desember 2016

Gadis Mangrove di Majalah Gadis


GADIS MANGROVE
Oleh Rien Dj

Gadis Mangrove, dimuat di Majalah Gadis edisi ke-23, November 2016

Suara (burung_edit.) rana yang dilepas terdengar di tengah kesunyian hutan bakau. Aku mendongak dari aktivitas mengambil buah bogem atau pedada yang berjatuhan di tanah berlumpur. Lagi-lagi aku melihat cowok itu. Seperti kemarin, dengan kamera moncong panjang dan tripod. Aku meneruskan pekerjaan. Pesanan sirup sedikit meningkat di musim panas. Syukurlah buah mirip kesemek dengan ujung datar itu sedang berbuah lebat.
Klik! Lagi-lagi aku mendengar suara rana dilepas. Kali ini, aku tak menoleh karena tahu siapa sumbernya. Meski dalam hati tertera pertanyaan, siapa cowok itu dan mengapa dua hari ini selalu datang ke kawasan hutan mangrove? Usianya sepertinya tak terpaut jauh denganku. Harusnya dia masih sekolah atau paling tidak kuliah, kecuali dia bekerja sambilan sebagai fotografer. Namun, fotografer yang datang ke sini biasanya menyapaku dan bertanya banyak hal demi kebutuhan hasil jepretannya. Cowok itu hanya memotret, kadang menatapku sekilas lalu sibuk mengintip lubang kameranya.
“Kenapa nggak minta Ayah saja yang mengambil bogemnya?” Ayah menyampirkan topi di gantungan dekat pintu. “Katamu sekarang sedang banyak tugas sekolah?”
Aku tersenyum. “Ayah, kan, sedang sibuk menerima tamu.” Sebetulnya bukan itu satu-satunya alasanku. Berada di dalam hutan bakau, menyentuh dedaunannya yang hijau bagiku seperti bercanda dengan sahabat. Kadang aku berbicara dengan kepiting, udang, atau menimpali cericit burung. Hutan mangrove ini telah menjadi jiwaku. Juga jiwa Ayah dan Ibu. 
Ada sejarah pahit sebelum akhirnya Ayah berjanji untuk membaktikan hidupnya demi hutan mangrove. Ayah dulu melakukan kesalahan dengan mengabaikan peringatan Ibu tentang efek menebang pohon mangrove hingga habis. Ayah baru tersadar setelah satu pemukiman hancur diterjang gelombang besar sebab tak ada akar-akar mangrove yang menjadi pemecah ombak besar.
Aku segera beranjak ke dapur dan membantu Ibu mengupas buah bogem satu per satu sambil menunggu kedatangan Mbak Ninuk dan Bulik Dian. Keduanya warga di sekitar hutan mangrove yang masih setia membantu kami di dapur. Membuat sirup dari bogem, membuat cake tepung buah tancang dan berbagai olahan makanan dari hutan mangrove.
“Tepung tancang kita sudah mulai menipis. Ibu mau mencoba mempraktikkan cake tancang basah seperti yang kamu tunjukkan kemarin, kata Ibu sambil menambahkan air ke dalam panci.
Membuat tepung tancang memang membutuhkan waktu lebih lama. Kemarin aku menemukan cara membuat cake tancang basah setelah browsing seharian. Artinya tancang tak harus dijadikan tepung kering dulu. 
***
Hari ini aku mengikuti Ayah naik perahu motor menyusuri pantai. Sementara aku akan mengumpulkan buah tancang dari hutan mangrove yang lebih jauh, Ayah akan mengecek apakah masih ada penduduk yang menebang pohon bakau. Ayah sudah sering memberi pengarahan bahaya menebang hutan mangrove. Namun, tak semua memiliki kesadaran yang sama. Ini bukan pekerjaan mudah. Ayah tahu persis itu.
Aku sudah duduk di dalam perahu ketika tiba-tiba cowok kamera itu muncul dan langsung meloncat ke dalam perahu, membuat perahu sedikit oleng. Aku mengernyit. Apa-apaan cowok itu asal numpang perahu Ayah?
“Sudah banyak objek foto yang berhasil dijepret?” tanya Ayah ramah.
“Lumayan, sih, Pak,” cowok itu memperbaiki duduknya saat Ayah menyalakan mesin dan perahu meluncur membelah pantai.
“Coba nanti ikut Iera ke hutan yang di sana. Mungkin Nak Iko bisa dapat objek berbeda dan lebih menarik.”
Oh, jadi nama cowok itu Iko? Nah, sejak kapan Ayah dan Iko berkenalan? Mengapa mereka tampak sudah akrab?
“Iera kamu bisa minta dipotret sama Nak Iko. Mumpung ada fotografer di sini,” kata Ayah sambil tertawa.
Aku mencelupkan tangan ke dalam air hingga membentuk alur di belakang. Kebiasaanku tiap menaiki perahu.
“Apaan, sih, Ayah. Iera, kan, nggak suka jual tampang.”
“Emang laku gitu tampang kamu dijual?” Tawa Ayah pecah di antara deru mesin perahu. Aku melirik tajam Iko yang ikut tertawa pelan.
“Ih, Ayah!” Aku mengerucutkan bibirku tanda kesal. “Fotografer yang datang ke sini, kan, nggak  cuma baru kali ini.” 

Selasa, 09 Agustus 2016

Go Green - Percikan Majalah GADIS



 Naskah untuk Percikan di Majalah GADIS ini aslinya berjudul "Go Green, Sih ...". Ternyata ketika tayang kata "sih" nya dibuang dan jadilah judul "Go Green" saja. Naskah berjumlah 600-an kata ini menjadi kejutan bagi saya dan teman-teman di komunitas Penulis Tangguh karena hanya dalam waktu 2 pekan menunggu sudah dimuat.  Alhamdulillah. Honor pun cair sesuai jadwal dan jumlah nominalnya sangat lumayan.

Go Green
Oleh Rien Dj
“Enggak usah pakai tisu, Ma. Mulai sekarang pakai sapu tangan aja.”
Mama pusing dengan ceramah Mia. Dari mulai tak boleh beli tisu, ke mana-mana bawa botol minum, beli sayur bawa mangkuk sendiri alih-alih pakai plastik dari si penjual seperti biasa.
“Duh, ribet.” Itu keluh Mama dan si Jo, adik Mia.
“Ini demi masa depan bumi kita. Sekarang bumi mulai rusak karena ulah kita. Nebang pohon sembarangan. Sekarang malah ngebakar hutan. Mereka tak sadar kalau ngancurin masa depan!” Bibir Mia bergerak cepat, matanya melebar, tangannya bergerak ke sana ke mari.  
Mama dan Jo manggut-manggut.
“Mulai sekarang, Mama tak boleh buang plastik sembarangan. Lebih baik, sih, didaur ulang. Karena plastik butuh waktu 500 tahun untuk bisa hancur, padahal kita pakai paling cuma 5 menit!”
Mama dan Jo berpandangan. Kening mereka berkerut.
“Berita buruknya lagi, Indonesia menyumbang sampah plastik 10 persen di dunia. Penyumbang terbanyak setelah China. Malu, kan, kita?”
Mama dan Jo manggut-manggut. Lagi.
Jadi, sudah hampir sebulan ini Mia ikut dalam kelompok Ijoku. Itu karena, ketua Ijoku adalah Dana. Cowok cool, yang ke mana-mana menaiki sepeda federal-nya plus helm ala orang luar negeri. Sudah lama Mia pingin kenal, tak sekadar mengangguk ketika berpapasan. Sebetulnya Mia naksir juga, sih. Meski tinggal satu kompleks, tapi Dana tidak satu sekolah dengannya. Mau pura-pura pinjem buku atau soal tes semesteran, juga tak mungkin, karena Dana satu tingkat di atas Mia.
Ketika ada brosur yang dibawa mamanya sepulang PKK, Mia tak perlu berpikir lagi. Brosur berisi perekrutan anggota baru Ijoku. Duuh, Mia jadi semangat. Semangat ketemu Dana, sih, sebetulnya.
Waktu Dana menjelaskan sejarah Ijoku, misi dan visi, serta aksi yang dilakukan, dengan antusias Mia menyimak, tapi wajah Dana yang lebih dia hafal daripada isi penjelasannya. Sampai-sampai Dana senyum-senyum setiap kali melirik Mia.
“Aku bangga sama kamu, Mia,” puji Dana saat mereka menyebar brosur berisi ajakan menghindari pemakaian plastik, sekaligus memunguti sampah plastik di seluruh kompleks.
“Kenapa memang?” Mia sedikit gugup karena pujian Dana, sekaligus tak bisa menahan senyum.
“Aku pikir kamu anak mama yang manja.” Dana melirik Mia.
“Ih, enak aja nuduh!” Mia melempar botol plastik bekas air mineral ke arah Dana. Dana tertawa lepas. Pipi Mia memerah.
Sudah dua kali pertemuan, Dana tak keliatan. “Memangnya Dana ke mana, sih, Kak?” Mia tak tahan untuk tidak bertanya pada Bagus, pengganti Dana.
“Lho, kamu nggak tahu? Dana, kan,  kuliah ke Bandung.”
Bibir Mia melongo. Dana memang bukan apa-apanya Mia. Tapi, sejak bergabung dengan Ijoku, Dana dan Mia jadi akrab dan dekat. Bahkan Dana sering main ke rumah Mia. Apakah itu tidak cukup bagi Mia untuk tahu berita sepenting itu dari Dana?
Mia terpekur di kamarnya. Air mata menetes satu-satu. Gumpalan tisu bertebaran di seluruh tempat tidur, di lantai, di meja belajar. Sakitnya hati Mia.
Mama dan Jo terbelalak melihat kondisi Mia dan kamarnya. “Ih, Kakak, kok, pakai tisu, sih? Sedih, sih, sedih, tapi inget, dong, Kakak sudah menghabiskan satu pohon. Padahal satu pohon butuh waktu 6 ta … hmptt.”
Mia membekap mulut Jo lalu mendorongnya keluar kamar. Teganya, si Jo. Bukannya menghibur. Mia sekarang sudah tak peduli pada aksi-aksi Ijoku. Dia marah pada Dana. Dada Mia naik turun. Tiba-tiba layar tab-nya menyala. Dana? Mia ragu, tapi dia segera menghidupkan layar Skype. Wajah Dana yang lelah tapi penuh senyum tampak.
“Hai Mia apa kabar? Maaaf banget, ya, aku baru kasih kabar. Semua memang serba mendadak. Oh ya, aku sudah minta Bagus supaya mengangkatmu jadi sekretaris Ijoku. Mau, kan, Mia?” Senyum Dana lebar.
“Em .. em … aku.” Mia kebingungan. Dia sudah telanjur marah, ternyata Dana masih ingat padanya.
“Eh Mia, itu di sampingmu apaan, sih?” Wajah Dana makin besar saat mendekat ke layar, berusaha melihat.
“Oh … ini prakaryaku,” Mia cepat-cepat menyambar gumpalan-gumpalan tisu sekenanya. Di pintu kamar Mia, Jo tertawa cekikikan.



Kamis, 11 Februari 2016

Senyum Peri Gula

Add caption
*dimuat di Majalah Bobo*

Peri Rupet, koki Istana Peri kebingungan. Sudah berkali-kali dia menambahkan sari gula pada puding bit, tetap saja terasa hambar.
“Peri Rupet, kau lupa memberikan madu pada minumanku,” tegur Ratu Peri.
 “Oh, tidak, tentu saja tidak, Ratu!” bantah Peri Rupet.
Ratu Peri mengerutkan kening, hingga mahkotanya sedikit bergerak. “Mungkin kau harus menambahkan madu lebih banyak pada minumanku,” usulnya.
Peri Rupet menatap wadah madu di rak dapurnya yang hampir kosong. “Baiklah.”
Tetapi, tak hanya koki istana yang kebingungan karena makanannya tak enak. Peri-peri lain tak kalah terkejut.
“Kenapa buah apelnya tak berasa?”            
“Bah! Bah! Ceri ini asam sekali!”
“Peri Sacharosa! Mengapa semua buah menjadi asam?” Teriak para peri. Peri Sacharosa yang sedang berayun-ayun di dahan pohon ceri terkejut. Seharusnya itu pekerjaan Peri Swesa. Menaburkan serbuk manis pada semua tanaman. Tapi, Peri Swesa sedang sakit. Salah satu peri gula harus menggantikannya. Ratu Peri menunjuk Peri Sacharosa menggantikannya.
“Masakanku jadi tak karuan. Kau pasti salah meramu serbuk gulamu!” tuduh Peri Rupet.
Peri Sacharosa jengkel sekali. Kedua ujung bibirnya melengkung ke bawah beberapa senti. “Aku sudah melakukan tugasku sesuai petunjuk Peri Swesa. Aku menambahkan dua takaran serbuk manis pada apel, satu takaran pada ceri, empat takaran pada sugarwood, kelengkeng, melon .…”
Semua peri saling berpandangan. Peri Rupet terdiam. “Kalau begitu, pasti ada yang salah,” katanya sebelum meningalkan Peri Sacaharosa diikuti peri lainnya.
Peri Sacharosa mengayun dahan ceri kencang-kencang hingga suaranya berderak-derak. Dia sangat kesal. Bayangkan saja. Dia harus bangun paling pagi di antara semua peri, bahkan lebih pagi daripada matahari. Tak ada siapa-siapa kecuali peri angin yang suka bermain dengan tongkat anginnya hingga udara menjadi sangat dingin.
Peri Sacharosa harus terbang dari satu ranting ke ranting lain, dari satu pohon ke pohon lain. Jari-jarinya sibuk bergerak menabur bubuk manis.
“Huh, huh, huh!” Tangan Peri Sacharosa bergerak ke sana-ke mari dengan jengkel, membuat hewan-hewan mungil yang sedang asyik bersantai terbang ketakutan.
“Peri Sacharosa!” panggil Ratu Peri. “Minggu depan akan ada pertemuan peri. Jangan sampai memalukan tamu karena kau tidak melaksanakan tugasmu dengan baik.”
Peri Sacharosa menekuk satu lututnya lalu membungkuk tanpa suara. Tak ada senyum di wajahnya. Dia jengkel sekali karena semua orang menuduhnya tak bisa bekerja.
Peri Sacharosa bergegas ke dapur. Dia segera meramu bubuk manis seperti petunjuk Peri Swesa. Suara sendok, tongkat pengaduk, botol kaca, bejana, menimbulkan suara berisik. Peri Sacharosa bekerja dengan wajah bersungut-sungut. Mulutnya mengerucut. Langit masih gelap, ketika Peri Sacharosa memeluk bejana dengan tangan kirinya. Mulutnya makin mengerucut. 
“Hap!” sesendok serbuk dia taburkan dengan kesal pada bunga-bunga ceri yang sedang mekar. Peri Sacharosa bekerja dengan cepat. Dengan bibir tertutup rapat. Sayapnya bergetar dari satu pohon ke pohon lain. Hari mulai terang ketika dia menyelesaikan tugasnya.
“Selamat pagi, Peri Sacharosa!” sapa Peri Angin tersenyum manis.
“Pagi,” jawab Peri Sacharosa hampir tanpa menggerakkan bibirnya.
“Hari pasti akan lebih manis jika kau mau menunjukkan sedikit senyummu,” tegur Peri Angin sebelum terbang berputar di antara dedaunan.
Peri Sacharosa berkacak pinggang di atas daun anggur. Ujung bibirnya berkerut, seperti dua sungut. Peri Sacharosa lalu beristirahat sambil berayun-ayun di batang anggur yang melengkung.
Hari ini istana sangat ramai. Pertemuan peri akan dilaksanakan. Peri Rupet sangat sibuk membuat makanan.
“Peri Sacharosa! Lagi-lagi kau salah meramu serbuk manismu!” Dia mengecapkan lidahnya.
“Tidak!” bantah Peri Sacharosa. “Aku tidak salah! Aku meramu seperti yang diajarkan Peri Swesa.” Peri Sacharosa berdiri tegak di depan Peri Rupet. Matanya berkilat karena jengkel.
“Kau yakin?” Peri Rupet mengernyit lalu mengetuk-ngetuk dahinya dengan sendok kayu. “Pasti ada yang salah dengan ramuannya,” gumamnya. Dia masih mengetuk-ngetukkan sendok kayunya saat meninggalkan Peri Sacharosa.
Peri Sacharosa kebingungan. Lagi-lagi serbuk manis yang dia taburkan tak mempan. Dia duduk di atas batu hijau. Tangannya menopang dagu. “Pasti ada rahasia yang disembunyikan oleh Peri Swesa dariku,” gumamnya. “Aku harus mengamati benar-benar saat Peri Swesa membuat ramuan.”
Syukurlah Peri Swesa akhirnya sembuh juga. Sambil membantu, diam-diam Peri Sacharosa mengamati Peri Swesa saat menaburkan ramuan ke dalam bejana dengan riang. Sesekali terdengar senandung dari bibirnya. Dapur dipenuhi irama.
“Peri Swesa, aku membuat ramuan sama persis seperti yang kau lakukan. Tapi, kenapa semua menjadi hambar dan asam?” Peri Sacharosa ikut menyendok ramuan ke dalam bejana. “Apakah kau mempunyai rahasia yang aku tak tahu?”
“Aku tak punya rahasia,” Peri Swesa menjawab santai. “Ayo segera keluar. Mereka sudah menunggu serbuk kita.” Peri Swesa terbang dengan riang. Peri Sacharosa mengikuti dari belakang, meskipun belum puas dengan jawaban yang dia dengar.
“Hai, Peri Angin!” sapa Peri Swesa sambil tersenyum. Udara menjadi sedikit hangat. “Halo apelku yang manis!” Peri Swesa tak berhenti tersenyum sambil menaburkan serbuk manisnya. Apel itu bergoyang. Ada dua garis cahaya melengkung seperti senyuman. Setiap Peri Swesa menaburkan serbuknya, mereka bergoyang sambil memamerkan dua garis cahaya.
“Aneh sekali,” Peri Sacahrosa menatap buah-buah itu dengan heran.
“Apa yang aneh?” Peri Swesa tersenyum melihat Peri Sacharosa yang kebingungan.
“Jadi benar kau punya ramuan rahasia?” tebak Peri Sacharosa dengan mulut mengerucut. “Dan aku belum boleh tahu?”
“Tidak. Tak ada ramuan rahasia,” Peri Swesa menggeleng. “Kalau kau ingin tahu, ikuti petunjukku.” Peri Swesa sudah mendengar keluhan warga istana.
Peri Sacharosa mengangguk.
“Sekarang, tunjukkan gigimu. Jangan telalu lebar. Tarik bibirmu ke kiri dan ke kanan. Tahan 5 hitungan.”
Peri Sacharosa menurut. Kini mulutnya tak lagi mengerucut seperti biasanya.
“Nah, sekarang taburkan serbuk pada buah plum.”
Batang buah plum bergoyang dan dua garis cahaya memantul dari kulitnya. Peri Sacharosa membelalak senang. Sepanjang pagi, senyum Peri Sacharosa mengembang. Kebun istana tampak lebih meriah. Batang-batang pohon meliuk seperti penari. Buah-buah ikut bergoyang. Sebelum matahari terbit, Peri Sacharosa sudah menyelesaikan tugas dengan sempurna.
Keesokan harinya, sepiring kue berwarna biru buatan Peri Swesa menghiasi meja makan para peri.
“Hm … akhirnya aku dapat membuatkan kue manis untuk Ratu Peri dan kalian semua.” Peri Rupet menepuk tangannya tanda puas.
Peri Swesa menoleh pada Peri Sacharosa. Mereka tersenyum penuh rahasia.