GADIS
MANGROVE
Oleh Rien Dj
Gadis Mangrove, dimuat di Majalah Gadis edisi ke-23, November 2016 |
Suara (burung_edit.)
rana yang dilepas terdengar di tengah kesunyian hutan bakau. Aku mendongak dari
aktivitas mengambil
buah bogem atau pedada yang berjatuhan di tanah berlumpur. Lagi-lagi aku melihat cowok itu.
Seperti kemarin, dengan kamera moncong panjang dan tripod. Aku meneruskan pekerjaan.
Pesanan sirup sedikit meningkat di musim panas. Syukurlah buah mirip kesemek dengan ujung
datar itu sedang berbuah lebat.
Klik!
Lagi-lagi aku mendengar
suara rana dilepas. Kali ini, aku tak
menoleh karena tahu siapa sumbernya. Meski dalam hati tertera pertanyaan, siapa
cowok itu dan mengapa dua hari ini selalu datang ke kawasan hutan mangrove?
Usianya sepertinya tak terpaut jauh denganku.
Harusnya dia masih sekolah atau paling tidak kuliah,
kecuali dia bekerja sambilan sebagai fotografer. Namun, fotografer
yang datang ke sini biasanya menyapaku
dan bertanya banyak hal demi kebutuhan hasil
jepretannya. Cowok itu hanya memotret,
kadang menatapku sekilas lalu sibuk mengintip lubang
kameranya.
“Kenapa
nggak minta Ayah
saja yang mengambil bogemnya?” Ayah menyampirkan
topi di gantungan dekat pintu. “Katamu
sekarang sedang banyak tugas sekolah?”
Aku
tersenyum. “Ayah,
kan, sedang sibuk menerima tamu.” Sebetulnya bukan itu
satu-satunya alasanku.
Berada di dalam hutan bakau, menyentuh dedaunannya yang hijau bagiku seperti bercanda dengan
sahabat. Kadang aku berbicara
dengan kepiting, udang, atau menimpali cericit burung. Hutan mangrove ini telah
menjadi jiwaku.
Juga jiwa Ayah
dan Ibu.
Ada sejarah pahit sebelum akhirnya Ayah berjanji
untuk membaktikan hidupnya demi hutan mangrove. Ayah dulu
melakukan kesalahan dengan mengabaikan peringatan Ibu tentang
efek menebang pohon mangrove hingga habis. Ayah baru tersadar setelah satu
pemukiman hancur diterjang gelombang besar sebab tak ada akar-akar mangrove yang
menjadi pemecah ombak besar.
Aku segera beranjak ke dapur dan
membantu Ibu mengupas buah bogem satu per satu sambil menunggu kedatangan Mbak
Ninuk dan Bulik Dian. Keduanya warga di sekitar hutan mangrove yang masih setia
membantu kami di dapur. Membuat sirup dari bogem, membuat cake tepung buah tancang
dan berbagai olahan makanan dari hutan mangrove.
“Tepung tancang kita sudah mulai menipis. Ibu mau mencoba
mempraktikkan cake tancang basah seperti yang kamu tunjukkan kemarin,” kata Ibu sambil menambahkan air ke dalam
panci.
Membuat tepung tancang memang membutuhkan waktu lebih lama. Kemarin aku menemukan
cara membuat cake tancang basah
setelah browsing seharian. Artinya
tancang tak harus dijadikan tepung kering dulu.
***
Hari
ini aku mengikuti Ayah naik perahu motor
menyusuri pantai. Sementara aku akan
mengumpulkan buah tancang dari hutan mangrove yang lebih jauh, Ayah akan mengecek
apakah masih ada penduduk yang menebang pohon bakau. Ayah sudah sering memberi
pengarahan bahaya menebang hutan mangrove. Namun, tak semua memiliki kesadaran
yang sama. Ini
bukan pekerjaan mudah. Ayah tahu persis
itu.
Aku
sudah duduk di dalam perahu ketika tiba-tiba cowok
kamera itu muncul dan langsung meloncat ke dalam perahu, membuat perahu sedikit
oleng. Aku mengernyit. Apa-apaan
cowok itu asal numpang perahu Ayah?
“Sudah
banyak objek foto yang berhasil dijepret?” tanya Ayah ramah.
“Lumayan,
sih, Pak,” cowok itu memperbaiki duduknya saat Ayah menyalakan mesin dan perahu meluncur
membelah pantai.
“Coba
nanti ikut Iera ke hutan yang di sana. Mungkin Nak Iko bisa dapat objek berbeda
dan lebih menarik.”
Oh, jadi nama cowok itu
Iko? Nah, sejak kapan Ayah dan
Iko berkenalan? Mengapa mereka tampak sudah akrab?
“Iera
kamu bisa minta dipotret sama Nak Iko. Mumpung ada fotografer di sini,” kata
Ayah sambil tertawa.
Aku
mencelupkan tangan ke dalam air hingga membentuk alur
di belakang. Kebiasaanku tiap menaiki perahu.
“Apaan, sih, Ayah. Iera, kan, nggak suka jual tampang.”
“Emang
laku gitu tampang kamu dijual?” Tawa Ayah pecah di antara deru mesin perahu.
Aku melirik tajam Iko yang ikut tertawa
pelan.
“Ih,
Ayah!” Aku mengerucutkan bibirku tanda kesal. “Fotografer
yang datang ke sini,
kan, nggak cuma baru kali ini.”
Ayah
tertawa lagi sambil mengacak rambutku
dengan tangan yang tak memegang kemudi. Lagi-lagi dengan spontan aku melirik Iko.
Duh, apaan sih aku ini? Iko memang jenis cowok good looking, tapi jangan sampai dia kege-eran karena aku sudah meliriknya
untuk yang kedua dalam waktu belum 5 menit. Ups tunggu, kenapa dia mengarahkan
mocong kameranya ke arahku? Nah, sekarang
dia mengalihkan arah
moncongnya agak ke atas. Aku merutuki diri
sendiri. Mungkin tadi dia menemukan objek bagus
di depanku.
“Kamu
turun di sini?” suara Ayah membuyarkan pikiranku. Tanpa menunggu jawaban, Ayah
menghentikan perahu dan aku meloncat turun. Iko ikut turun sambil
mencangklongkan tali kameranya. Aku
segera mengeluarkan kantong plastik besar dan memetik buah-buah tancang. Aku kadang harus berjinjit untuk
meraih ranting agar dapat memetik buah yang
mirip dengan okra ini.
“Boleh
aku bantu?” Suara di belakang membuatku kaget dan aku segera memegang dahan sebelum
hilang keseimbangan. Aku terlalu asyik memetik dan mengumpulkan buah tancang
hingga tak menyadari ada orang lain bersamaku. Sejak masuk hutan Iko entah ke
mana dengan kameranya.
“Boleh
saja, kalau kamu nggak takut mengotori tangan dengan getah tancang,” kataku berusaha sedatar
mungkin, menutupi
rasa terkejut sekaligus senang. Ternyata
dia tak secuek seperti yang
kukira. Dengan tubuhnya yang jauh
lebih tinggi, Iko dapat cepat
memenuhi kantong plastik ketiga.
“Sepertinya
hanya keluarga kalian yang mengelola hutan mangrove ini.” Iko memecah kebisuan.
“Ceritanya
panjang,” kataku.
“Aku
masih punya waktu lama,
kok, untuk mendengar
ceritamu.” Iko tersenyum.
“Memangnya kamu libur panjang? Jangan bilang kamu pengangguran.
Melihat tampangmu tak mungkin kamu bukan anak sekolahan atau anak kuliahan.” Entah bagaimana tiba-tiba
aku mencerocos ingin tahu.
Iko tergelak. “Aku memang bukan anak sekolah atau kuliah dan saat ini
pengangguran.”
“Pengangguran bertampang parlente? Kecuali kau anak orang
kaya. Tapi ngapain anak orang kaya kelayapan di hutan mangrove seperti ini.
Berhari-hari pula. Bukannya hobi orang kaya itu kelayapannya
di mal atau di café?” Lagi-lagi aku mencerocos. Untunglah suara mesin motor
perahu Ayah
terdengar. Mulutku langsung menutup. Tanpa menunggu jawaban Iko aku mengangkat
dua kantong plastik tancang. Ayah yang akan mengangkut kantong-kantong lainnya.
Kulihat Iko juga membawa dua kantong plastik.
Kami pulang tanpa banyak melakukan percakapan.
Aku diam tak berani melanjutkan obrolan.
Kata Lia, sahabatku, banyak teman
menganggapku sombong karena aku hampir
tak pernah menyapa atau mengajak bicara mereka lebih dahulu.
Sebetulnya bukan begitu. Mungkin karena sejak kecil aku lebih bisa bicara
dengan hutan mangrove dan isinya.
“Kamu
gadis Tarzan. Semoga saja
suatu hari ada cowok seperti Jane yang datang dan mengeluarkanmu dari hutan
lalu membawamu ke dunia yang lebih beradab,”
ledek Lia.
Aku biasanya
langsung menarik kuncirnya. “Cowok
kayak Jane? Enggak banget. Trus itu jenis cowok apaan? Cowok beneran atau
setengah cowok setengah cewek?” balasku yang langsung disambut dengan tawa Lia yang kencang sambil memukul pundakku.
***
Sejak
acara berperahu dan memetik tancang bersama Iko, kami jadi sedikit lebih akrab.
“Aku
tak tahu kalau pohon mangrove ternyata punya jenis yang banyak,” kata Iko saat kami
berjalan menyusuri papan-papan kayu yang dibangun Ayah bersama beberapa warga
sekitar. Papan-papan itu membentuk jalan setapak yang membelah hutan mangrove
dan akan berakhir di tepi pantai. Ada dua gubuk untuk beristirahat dan dua
tower yang dibangun untuk pengunjung yang ingin melihat pemandangan dari atas.
Sayangnya dana dari pemda berhenti, dan berhenti pula orang-orang desa yang
dulu ikut bekerja sama. Demi kebaikan vegetasi hutan mangrove juga sumber daya
yang sangat terbatas, Ayah pun membatasi
jumlah pengunjung. Hanya kadang-kadang Ayah
menerima tamu dari
pemerintahan, komunitas pencinta lingkungan, atau sekelompok
mahasiswa yang ingin belajar tentang hutan mangrove.
“Memang
banyak. Bahkan ada lebih dari 70 jenis. Hanya saja yang ada di sini baru
sekitar 7 jenis saja.” Lalu aku menyebutkan satu per satu dan menunjukkan
pohonnya pada Iko.
“Namanya
cakep-cakep, ya? Avicennia alba, Acanthus bla bla bla, Bruguiera gymnorrhiza … eits tunggu!” Iko berhenti dan
melafalkan nama latin pohon tancang itu
lambat-lambat. “Bruguiera
gymnorrizha … Iera Rizha!” Iko menjentikkan jarinya. Matanya menyipit
seiring kekehan tawanya.
“Iya
… iya … namaku memang diambil dari nama Latin
pohon tancang. Ibu yang menamaiku.” Aku
ikut tertawa. “Untunglah aku tidak gendut. Bayangkan kalau namaku diambil dari
pohon tancang yang buahnya panjang langsing
mirip okra, sementara badanku bulat. Lebih cocok
namaku Sonneratia caseolaris atau
bogem.”
“Tapi, Sonneratia caseolaris tak kalah cakep
buat nama,”
kata Iko nyengir.
“Ya
sudah, simpan saja buat nama anakmu nanti,” candaku.
“Tergantung
ibunya dulu, dong. Kalau ibunya juga pencinta mangrove, baru cocok,” sahut Iko sambil
melirikku.
Pipiku
tiba-tiba terasa panas. “Jadi, untuk apa semua
hasil jepretanmu?”
aku mengalihkan pembicaraan. Iko tak hanya memotret kehidupan di hutan
mangrove. Bahkan semua hasil olahan mangrove yang dibuat Ibu ikut menjadi objek
fotonya. Aku agak khawatir dengan apa yang dilakukannya. Karena
itu, aku diam-diam merencanakan sesuatu.
“Buat
dokumentasi. Sekarang aku
jadi lebih tahu banyak tentang mangrove dan sepertinya aku juga mulai jatuh
cinta.”
“Jatuh
... cinta?” mataku melebar.
Iko
terbatuk. “Ya ... aku
mulai jatuh cinta pada hutan mangrove. Gila,
ya, Indonesia. Punya hutan mangrove 2,3 juta hektar, terluas di dunia tapi tak
banyak yang tahu. Padahal fungsinya begitu penting. Apalagi kalau dikelola
dengan maksimal.” Iko menggeleng-geleng.
Aku
kembali bernapas. Hampir saja aku kege-eran. Lagi. Entah kenapa makhluk kamera ini sering mengacaukan pikiran dan hatiku.
Jangan sampai Lia tahu. Dia pasti akan langsung meledek kalau aku si Tarzan cewek telah
dipertemukan dengan Jane
cowok.
“Oh
ya, aku besok harus pulang.” Entah kenapa Iko harus berpamitan. Pengunjung
hutan ini bisa datang dan pergi sesuka hati.
“Boleh
aku pinjam kameramu sampai besok?” Jantungku berdebar lebih kencang. Iko
menatapku dengan alis bertaut. “Hmm ... aku tidak akan merusak kameramu,” kataku
gugup. Aku harus berhasil meminjam kamera Iko. Ini sangat penting.
“Boleh
saja,” Iko melepas tali selempang kameranya melalui kepala dan menyerahkan padaku. Aku lega luar
biasa.
Sudah
beberapa hari aku tak mendengar suara rana yang dilepas atau melihat tripod yang berdiri di
tengah jalan dengan Iko yang membungkuk di belakang kamera. Pikiranku terpaku pada deretan
foto di kameranya kemarin.
Foto-foto yang hampir seminggu terakhir semua berhubungan dengan hutan
mangrove. Ada burung-burung, kepiting yang sedang bersembunyi, udang, juga
berbagai makanan hasil olahan ibu dengan plating yang cantik. Mataku melebar
saat melihat fotoku sendiri di dalam perahu. Wajahku memang tidak begitu jelas,
karena ada sejumput rambut menutupi satu sisi. Ada dua fotoku lainnya. Dadaku masih terasa sesak. Marah,
malu, juga merasa pengecut. Paling tidak, aku berhasil mencegah Iko mengupload
foto-foto hutan ini di instagramnya,
hiburku.
“Anak
gadis melamun pagi-pagi. Nggak baik, ah.” Ayah menepuk kepalaku. “Besok Nak Iko
mau datang, lho.”
Aku
terlonjak dari dudukku. “Ngapain dia ke sini lagi?” Suaraku seperti tercekik.
Ayah
mengernyit. “Sepertinya kamu tak suka. Kenapa?”
Mulutku
membuka tapi segera kututup rapat. Ayah tak perlu tahu. “Ah, enggak juga, kok.”
Aku berusaha tersenyum meski kaku.
Hari
ini aku tak bisa berpikir
jernih. Aku menyusuri pantai
dengan perahu sendirian. Aku membawa buku
dan berniat belajar dalam kesunyian di atas perahu di
antara hutan mangrove. Aku memakai perahu dayung, karena tak ingin terganggu
dengan deru mesin diesel. Aku mendayung pelan-pelan.
Sesekali berhenti dan membiarkan perahu mengapung
sementara aku mengecek apakah jawaban soal yang kukerjakan sudah benar.
Sayangnya kali ini aku tak bisa konsentrasi. Aku masih memikirkan foto-foto Iko sekaligus rasa bersalah.
Saat itu Tiba-tiba langit gelap. Menjelang kemarau cuaca memang tak bisa ditebak. Segera kudayung perahu berbalik
menuju rumah. Aku
tak mau terjebak dalam hutan. Lebih lagi suara geluduk (petir)
mulai terdengar. Aku sedikit panik.
Aku takut petir. Dayungku berayun cepat
tetapi hujan lebih cepat
turun. Aku segera menambatkan
perahu dan berlari menyusuri jalan setapak. Suara petir tiba-tiba menggelegar.
Aku tersandung papan yang agak mencuat.
Aku
menggigil sambil mendekap buku-bukuku. Aku
sampai di rumah dengan baju basah kuyup. Aku
makin gemetar ketika melihat sosok yang tak ingin aku lihat. Iko. Aku
segera masuk kamar mandi mengeringkan badan dan berganti baju. Suara petir
masih sesekali terdengar. Aku duduk mencangkung di kursi dengan segelas teh
panas. Iko ke sini pasti tidak dengan maksud apa-apa. Dia sedang
menyiapkan kata-kata amarah padaku. Suara derit kursi mengalihkan pandanganku
dari asap teh yang mengepul.
“Aku
minta maaf.” Suaraku parau.
“Aku hanya ingin menyelamatkan tempat ini dari efek
foto-foto yang akan kamu unggah ke instagram.” Aku meneguk ludah. “Ada
hal yang belum kamu tahu
mengapa Ayah membatasi pengunjung yang datang. Bukan hanya khawatir dengan perilaku pengunjung yang suka membuang sampah seenaknya atau merusak fasilitas yang ada,
tetapi banyaknya pengunjung akan membuat penghuni hutan mangrove seperti burung
dan hewan lain tidak nyaman. Padahal mereka adalah bagian dari hutan ini. Karena itulah aku menghapus semua foto di kameramu.”
Iko
menggeleng-geleng. “Dan kenapa kau begitu yakin kalau aku akan mengunggah
foto-foto itu di instagram?”
Aku
menatap Iko yang mengerutkan kedua alisnya. “Itu karena aku ... melacak akunmu dan aku melihat kau suka
mengupload foto-fotomu di sana.”
Helaan
tajam napas Iko terdengar menusuk telingaku. Tiba-tiba dia beranjak dari kursi.
“Hujan sudah reda,” gumamnya. “Sebetulnya foto-foto itu akan aku gunakan untuk
mengikuti lomba fotografi. Sebagian untuk melengkapi artikel yang aku kirim ke
majalah.”
Jantungku seperti hendak meloncat. “Jadi ...?”
“Sudahlah,”
Iko berderap keluar rumah sambil menyambar tas ranselnya. Aku masih berusaha
mencerna perkataannya. Dan aku merasa bodoh dan malu.
“Ikooo!”
Aku berlari mengejarnya sebelum dia menutup pintu mobilnya. “Tunggu! Kapan
deadline lomba itu? Aku menyimpan file fotomu di flash disk-ku.” Aku merogoh
kantong celana panjangku dan mengacungkan FD di depan wajah Iko.
Sudut
bibir Iko tertarik keluar. “Tak perlu. Aku telah memback up semua foto itu
sebelum kau pinjam.”
“Apa?
Lalu kenapa kamu sepertinya marah padaku tadi?” Aku membelalak lebar. Aku kesal
setengah mati. Lalu untuk apa dia kemari lagi?
“Aku
marah pada prasangkamu, pada rasa tak percayamu padaku. Aku tidak bodoh dan aku
tahu apa yang tak boleh aku lakukan demi hutan mangrove ini.” Iko menatapku
tajam. Matanya berapi-api. “Untungnya kau cukup berani mengakuinya.”
Aku
menunduk, dan rasanya ingin berlari ke tengah hutan mangrove atau berendam di
pantai untuk mendinginkan rasa panas dari tatapan Iko.
“Maaf,”
kataku gemetar sebelum berbalik masuk ke dalam rumah. Aku terlalu malu pada
diriku karena apa yang telah kulakukan pada Iko.
“Kau
tak ingin tahu tentang lomba itu?” suara Iko yang melembut menghentikan
langkahku.
Aku
menoleh dengan ragu-ragu. Sekarang Iko telah berdiri tegak di sisi mobilnya. “Jadi,
bagaimana lombanya?” aku belum berani menatap Iko.
“Kau
bisa mengucapkan selamat untukku.” Suara Iko diwarnai senyuman.
Aku
mendongak. Rasa panas juga sesak yang menggelayutiku sejak tadi seperti
menguap. Dadaku terasa sejuk dan seringan bulu. “Selamat,” suaraku bergetar.
Ada buncah bahagia di dalamnya.
“Begitu
saja?” tanya Iko sambil menaikkan alisnya. “Pendek amat.”
“Hah?”
Aku kebingungan. Memangnya ucapan apa lagi yang harus aku katakan?
“Pamit
sama ayah ibu. Kita akan makan-makan di luar untuk merayakan kemenanganku.”
Aku
masih diam terpaku.
“Kamu
tak mau?” suara Iko terdengar kecewa.
Aku
buru-buru mengangguk dan segera berlari ke rumah.
“Jangan
salah, kamu yang harus membayar nanti sebagai hukuman,” kata Iko setelah aku
duduk di kursi penumpang.
“Hah?
Mana bisa begitu?”
Iko
tergelak melihat ekspresiku. “Pokoknya aku minta ganti rugi.” Iko tersenyum
lebar sementara aku jadi waswas. “Kau masih ingat tentang nama Sonneratia caseolaris waktu kita
jalan-jalan di hutan?”
Aku
langsung memukul bahu Iko. “Aku masih SMA, tahuuu!” Enak saja dia ngomong.
Lagian dia juga baru mau kuliah.
Iko
menghindari pukulanku. “Bukan sekarang tapi 5 tahun lagi. Sekarang sih yang
penting kita makan. Aku lapar.” Iko nyengir lebar.
Aku duduk bersandar
menenangkan jantungku yang masih berdebar. Tarzan dan Jane. Lia pasti akan
melonjak-lonjak sambil meledekku habis-habisan.
Catatan:
Saya sengaja memposting naskah aslinya untuk dapat dipelajari cara memampatkan tulisan dan bagaimana cara editor bekerja.
Tulisan yang bertanda merah berarti dihilangkan dari naskah asli oleh editor majalah Gadis.
Nama tokoh utama di cerita itu sebenarnya Iera (iera-- dari kata brugu-iera) tetapi diganti jadi Lera oleh editor.
Pada kalimat pertama seharusnya "suara rana dilepas" tetapi sepertinya editor keliru memahami maksud saya sehingga diganti menjadi "suara burung rana ...."
Rana yang saya maksud sebetulnya adalah salah satu tombol pada kamera atau disebut juga shutter. Setahu saya saat dilepas, rana atau shutter akan berbunyi klik.
Rana yang saya maksud sebetulnya adalah salah satu tombol pada kamera atau disebut juga shutter. Setahu saya saat dilepas, rana atau shutter akan berbunyi klik.
Ini jadi pelajaran buat saya untuk tulisan berikutnya mengenai istilah-istilah tertentu agar tidak berbeda persepsi.
BTS (Behind the Story)
Naskah Gadis Mangrove ini cukup lama ngendon di folder komputer karena belum nemu ending yang asyik. Beberapa teman memberi masukan tetapi belum cukup membuat saya sreg. Syukurlah tiba-tiba saya mendapat ide setelah nongkrong lama di instagram.
Mengapa mangrove? Sebetulnya ini berkaitan dengan tugas saya sebagai PJ kelas cerpen remaja di grup Penulis Tangguh. Saya melempar ide tentang lingkungan. Padahal saya sendiri bingung mau menulis apa. Tiba-tiba pakjo alias pak bojo bercerita tentang hutan mangrove yang dikelola oleh seorang bapak dan anak perempuannya. Aha! Ide pun muncul. Buru-buru saya riset tentang hutan mangrove dan pohon mangrove. Saya takjub sendiri karena ternyata pohon mengrove tidak sesederhana yang saya ketahui selama ini. Seperti yang dikatakn Iera, ada lebih dari 70 jenis pohon mangrove. Fungsi hutan mangrove pun sangat penting. Selain itu, buah mangrove ternyata bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan.
Untuk benar-benar dapat feel-nya saya membaca berbagai tulisan tentang hutan mangrove. Ada blog milik mahasiswa UGM yang sedang PKL ke hutan mangrove di Bali dan beberapa blog pribadi lainnya. Ada beberapa web yang berisi daftar spesies pohon mangrove lengkap dengan nama latin dan foto-fotonya. Tentu saja youtube menjadi bahan riset paling asyik dan seru. Lebih dari 5 video youtube tentang mangrove yang saya pelototi dan catat. Bahkan saya jadi mengenal sosok bernama pak Sony yang mengembangkan buah tancang menjadi tepung pengganti gandum, sirup buah mangrove, dan beberapa jenis keripik mangrove.
Itulah yang saya lakukan untuk sebuah naskah remaja sepanjang 9 halaman atau sekitar 2000 kata.
Mungkin ada ingin tahu berapa lama saya menunggu naskah ini hingga dimuat.
Saya mengirim naskah pada 18 Juli 2016. Just info, perlu perjuangan dan kesabaran agar email kita bisa terkirim. Beberapa kali email saya mental.
Pada 31 Agustus tiba-tiba ada email pendek dari editor majalah Gadis yaitu Mas Farick Ziat: naskahmu masuk nominasi. Nunggu antrean.
What? Saya bengong sebentar lalu buru-buru menghubungi mbak Yulina si Ratu Gadis untuk mengetahui maksud email itu. Dengan dada berdebar dan senyum lebar yang berusaha saya sembunyikan, saya menunggu si Gadis Mangrove tampil istimewa di Majalah Gadis.
Saya hanya mengabarkan pada Mbak Yulin dan pakjo saja. Pokoknya sebelum benar-benar tampil, saya akan keep silent.
Akhirnya pada edisi ke-23 bulan November, si Gadis Mangrove tampil cantik dengan ilustrasi yang cute!!! Suka-suka-suka.
Tambah suka karena kaget waktu mbak Yulin bilang honor cerpen 800 ribu. Padahal saya kira 500 ribu, beda sedikt dengan rubrik Percikan di Gadis.
Alhamdulillah .... bisa untuk mengganti saldo yang kering kerontang karena terkuras event BBW.
Baiklah, sekian cerita ngecuprus dari Behind the Story si Gadis Mangrove.
Aaaawww, kereeeen... Waktu baca naskah ini aku dah feeling bakal lolos.
BalasHapusWaow iyakah? Besok di-feeling-in lagi ya Kakak Izzah :D
HapusAaaww, Ratu Gadis :'D
BalasHapusEndingnya lanjut lima tahun lagi, ya, baca novelnya, hihi
Btw, 800 ribu belum potong pajak :')
Hai Ratu Gadis, dijadiin novel kali bagus ya? Ide mana ide.
HapusPajak nggak usah dipikir, anggap sedekah ajah haha
Mba Rien ..Uti diajak jadi remaja lagi dan hanyut dengan ceritanya yang penuh mskna dan kejutan. Really uti suka banget. Bajal sering mampir disini.
BalasHapusThanks a bunch, Uti. Jadi ingat masa remaja ya Uti hihihi ...
HapusAku tadi bingung baca bagian bewarna merah. Jadi tau tajamnya gunting editor Gadis.
BalasHapusAku tadi bingung baca bagian bewarna merah. Jadi tau tajamnya gunting editor Gadis.
BalasHapustajem ya Moma. pantesan susah masuk ke sana.
HapusWow....
BalasHapus:D
HapusWah, sukaaa sama gadis Mangrove
BalasHapusmakasih Mbak Tia :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusJadi pengen ke pantai
BalasHapusKuy ... kuy ...!
Hapusngecuprusnya bawa rezeki.. cerpennya keren ^_^
BalasHapus