Kamis, 11 Februari 2016

Senyum Peri Gula

Add caption
*dimuat di Majalah Bobo*

Peri Rupet, koki Istana Peri kebingungan. Sudah berkali-kali dia menambahkan sari gula pada puding bit, tetap saja terasa hambar.
“Peri Rupet, kau lupa memberikan madu pada minumanku,” tegur Ratu Peri.
 “Oh, tidak, tentu saja tidak, Ratu!” bantah Peri Rupet.
Ratu Peri mengerutkan kening, hingga mahkotanya sedikit bergerak. “Mungkin kau harus menambahkan madu lebih banyak pada minumanku,” usulnya.
Peri Rupet menatap wadah madu di rak dapurnya yang hampir kosong. “Baiklah.”
Tetapi, tak hanya koki istana yang kebingungan karena makanannya tak enak. Peri-peri lain tak kalah terkejut.
“Kenapa buah apelnya tak berasa?”            
“Bah! Bah! Ceri ini asam sekali!”
“Peri Sacharosa! Mengapa semua buah menjadi asam?” Teriak para peri. Peri Sacharosa yang sedang berayun-ayun di dahan pohon ceri terkejut. Seharusnya itu pekerjaan Peri Swesa. Menaburkan serbuk manis pada semua tanaman. Tapi, Peri Swesa sedang sakit. Salah satu peri gula harus menggantikannya. Ratu Peri menunjuk Peri Sacharosa menggantikannya.
“Masakanku jadi tak karuan. Kau pasti salah meramu serbuk gulamu!” tuduh Peri Rupet.
Peri Sacharosa jengkel sekali. Kedua ujung bibirnya melengkung ke bawah beberapa senti. “Aku sudah melakukan tugasku sesuai petunjuk Peri Swesa. Aku menambahkan dua takaran serbuk manis pada apel, satu takaran pada ceri, empat takaran pada sugarwood, kelengkeng, melon .…”
Semua peri saling berpandangan. Peri Rupet terdiam. “Kalau begitu, pasti ada yang salah,” katanya sebelum meningalkan Peri Sacaharosa diikuti peri lainnya.
Peri Sacharosa mengayun dahan ceri kencang-kencang hingga suaranya berderak-derak. Dia sangat kesal. Bayangkan saja. Dia harus bangun paling pagi di antara semua peri, bahkan lebih pagi daripada matahari. Tak ada siapa-siapa kecuali peri angin yang suka bermain dengan tongkat anginnya hingga udara menjadi sangat dingin.
Peri Sacharosa harus terbang dari satu ranting ke ranting lain, dari satu pohon ke pohon lain. Jari-jarinya sibuk bergerak menabur bubuk manis.
“Huh, huh, huh!” Tangan Peri Sacharosa bergerak ke sana-ke mari dengan jengkel, membuat hewan-hewan mungil yang sedang asyik bersantai terbang ketakutan.
“Peri Sacharosa!” panggil Ratu Peri. “Minggu depan akan ada pertemuan peri. Jangan sampai memalukan tamu karena kau tidak melaksanakan tugasmu dengan baik.”
Peri Sacharosa menekuk satu lututnya lalu membungkuk tanpa suara. Tak ada senyum di wajahnya. Dia jengkel sekali karena semua orang menuduhnya tak bisa bekerja.
Peri Sacharosa bergegas ke dapur. Dia segera meramu bubuk manis seperti petunjuk Peri Swesa. Suara sendok, tongkat pengaduk, botol kaca, bejana, menimbulkan suara berisik. Peri Sacharosa bekerja dengan wajah bersungut-sungut. Mulutnya mengerucut. Langit masih gelap, ketika Peri Sacharosa memeluk bejana dengan tangan kirinya. Mulutnya makin mengerucut. 
“Hap!” sesendok serbuk dia taburkan dengan kesal pada bunga-bunga ceri yang sedang mekar. Peri Sacharosa bekerja dengan cepat. Dengan bibir tertutup rapat. Sayapnya bergetar dari satu pohon ke pohon lain. Hari mulai terang ketika dia menyelesaikan tugasnya.
“Selamat pagi, Peri Sacharosa!” sapa Peri Angin tersenyum manis.
“Pagi,” jawab Peri Sacharosa hampir tanpa menggerakkan bibirnya.
“Hari pasti akan lebih manis jika kau mau menunjukkan sedikit senyummu,” tegur Peri Angin sebelum terbang berputar di antara dedaunan.
Peri Sacharosa berkacak pinggang di atas daun anggur. Ujung bibirnya berkerut, seperti dua sungut. Peri Sacharosa lalu beristirahat sambil berayun-ayun di batang anggur yang melengkung.
Hari ini istana sangat ramai. Pertemuan peri akan dilaksanakan. Peri Rupet sangat sibuk membuat makanan.
“Peri Sacharosa! Lagi-lagi kau salah meramu serbuk manismu!” Dia mengecapkan lidahnya.
“Tidak!” bantah Peri Sacharosa. “Aku tidak salah! Aku meramu seperti yang diajarkan Peri Swesa.” Peri Sacharosa berdiri tegak di depan Peri Rupet. Matanya berkilat karena jengkel.
“Kau yakin?” Peri Rupet mengernyit lalu mengetuk-ngetuk dahinya dengan sendok kayu. “Pasti ada yang salah dengan ramuannya,” gumamnya. Dia masih mengetuk-ngetukkan sendok kayunya saat meninggalkan Peri Sacharosa.
Peri Sacharosa kebingungan. Lagi-lagi serbuk manis yang dia taburkan tak mempan. Dia duduk di atas batu hijau. Tangannya menopang dagu. “Pasti ada rahasia yang disembunyikan oleh Peri Swesa dariku,” gumamnya. “Aku harus mengamati benar-benar saat Peri Swesa membuat ramuan.”
Syukurlah Peri Swesa akhirnya sembuh juga. Sambil membantu, diam-diam Peri Sacharosa mengamati Peri Swesa saat menaburkan ramuan ke dalam bejana dengan riang. Sesekali terdengar senandung dari bibirnya. Dapur dipenuhi irama.
“Peri Swesa, aku membuat ramuan sama persis seperti yang kau lakukan. Tapi, kenapa semua menjadi hambar dan asam?” Peri Sacharosa ikut menyendok ramuan ke dalam bejana. “Apakah kau mempunyai rahasia yang aku tak tahu?”
“Aku tak punya rahasia,” Peri Swesa menjawab santai. “Ayo segera keluar. Mereka sudah menunggu serbuk kita.” Peri Swesa terbang dengan riang. Peri Sacharosa mengikuti dari belakang, meskipun belum puas dengan jawaban yang dia dengar.
“Hai, Peri Angin!” sapa Peri Swesa sambil tersenyum. Udara menjadi sedikit hangat. “Halo apelku yang manis!” Peri Swesa tak berhenti tersenyum sambil menaburkan serbuk manisnya. Apel itu bergoyang. Ada dua garis cahaya melengkung seperti senyuman. Setiap Peri Swesa menaburkan serbuknya, mereka bergoyang sambil memamerkan dua garis cahaya.
“Aneh sekali,” Peri Sacahrosa menatap buah-buah itu dengan heran.
“Apa yang aneh?” Peri Swesa tersenyum melihat Peri Sacharosa yang kebingungan.
“Jadi benar kau punya ramuan rahasia?” tebak Peri Sacharosa dengan mulut mengerucut. “Dan aku belum boleh tahu?”
“Tidak. Tak ada ramuan rahasia,” Peri Swesa menggeleng. “Kalau kau ingin tahu, ikuti petunjukku.” Peri Swesa sudah mendengar keluhan warga istana.
Peri Sacharosa mengangguk.
“Sekarang, tunjukkan gigimu. Jangan telalu lebar. Tarik bibirmu ke kiri dan ke kanan. Tahan 5 hitungan.”
Peri Sacharosa menurut. Kini mulutnya tak lagi mengerucut seperti biasanya.
“Nah, sekarang taburkan serbuk pada buah plum.”
Batang buah plum bergoyang dan dua garis cahaya memantul dari kulitnya. Peri Sacharosa membelalak senang. Sepanjang pagi, senyum Peri Sacharosa mengembang. Kebun istana tampak lebih meriah. Batang-batang pohon meliuk seperti penari. Buah-buah ikut bergoyang. Sebelum matahari terbit, Peri Sacharosa sudah menyelesaikan tugas dengan sempurna.
Keesokan harinya, sepiring kue berwarna biru buatan Peri Swesa menghiasi meja makan para peri.
“Hm … akhirnya aku dapat membuatkan kue manis untuk Ratu Peri dan kalian semua.” Peri Rupet menepuk tangannya tanda puas.
Peri Swesa menoleh pada Peri Sacharosa. Mereka tersenyum penuh rahasia.