Senin, 10 November 2014

CATATAN FARICK ZIAT #4

Lanjutan catatan Farick Ziat #3



CATATAN 13

Pernahkah kau selami psikologi sang tokoh ceritamu saat menghadapi konflik? Kalau mau jujur, tentunya jarang sekali. Bahkan mungkin belum pernah kau lakukan. Selama ini, kau hanya sibuk membuat rancangan peristiwa. Memilih plot dan sudut pandang. Namun, melupakan satu sisi yang sebenarnya sangat asyik diselami: sisi psikologi sang tokoh. Kau tentu tahu, penerimaan manusia bisa berbeda akan suatu peristiwa.
Ini memang bukan keharusan, tapi sebuah peluang untuk mengembangkan ide cerita. Saat buntu dan tak menemukan plot yang kau anggap bisa mengalirkan peristiwa, barangkali sisi psikologi tokoh layak jadi pilihan. Konflik batin yang dialami, pertimbangan saat tokoh mengambil keputusan, akan membuatmu larut dalam imajinasi. Dan ini bagian yang sesungguhnya asyik saat menulis.
Jadi, sudah saatnya melebarkan sudut pandang dalam menulis. Ini akan membuatmu lebih jeli melihat realita yang ada. Cobalah.

gambar dari www.dputra.com
 CATATAN 14

Cara berpikir kaummu tentu saja kau tahu pasti. Tapi, cara berpikir lawan jenismu, ini pasti membuatmu meraba-raba. Belum lagi pergolakan batinnya. Kau hanya bisa menduga-duga, bagaimana cara dia –lawan jenismu itu – menghadapi masalah. Entah itu yang berkaitan dengan cinta atau keluarga. Tapi kau bisa membayangkan sekaligus mewujudkan sosoknya dalam ceritamu.
Meletakkan dirimu menjadi dia, ini satu cara untuk mengundang imajinasi dalam menulis. Kau akan terhindar dari rasa bosan. Kau akan merasa tertantang untuk mencari tahu dan masuk pada wilayah yang berbeda. Percayalah. Ini akan memberi rangsangan yang asyik. Selain itu, sudut ini akan memperkaya wawasan berpikirmu. Sebab, mau tak mau, kau akan banyak merenung tentang lawan jenismu.
Jadi, tak perlu ragu untuk menentukan tokoh dalam ceritamu. Kau bisa menjadi siapa saja. Kau hanya bertanggungjawab pada logika.
gambar dari tipscaraterbaik














CATATAN 15

Menentukan plot untuk membangun rangkaian cerita, inilah yang umumnya dilakukan penulis. Konon, ini akan memudahkan. Cerita tak akan lari ke luar jalur dan tersesat. Dan Ini sangat dipercaya kebenarannya. Meski, sesungguhnya, pakem ini tak bisa dijadikan patokan mutlak. Karena, banyak juga penulis yang enggan berepot-repot memikirkan plot. Mereka lebih percaya pada mood menulis yang – harus diakui – bagai hantu yang tak jelas datangnya.
Kau tentu tahu keinginan menulis itu tak datang setiap saat. Ini sangat berkaitan dengan mood. Memang benar, banyak juga yang bisa menjadikan menulis itu sebuah keharusan. Ada atau tiadanya mood harus disingkirkan. Namun, layak dikhawatirkan juga hasil akhir dari proses keharusan menulis itu. Akankah kwalitas karyamu bisa terjaga? Kalau demi kwantitas jelas ini bisa dipercaya. Akan banyak karya yang kau hasilkan. Apakah ini bisa memuaskanmu?
Jadi, saat keinginan menulis itu datang, janganlah sibuk memikirkan plot. Mulailah menulis dari apa yang melintas dalam imajinasimu. Kau harus yakin plot itu akan terbentuk dengan sendirinya.


CATATAN 16

Jangan terlalu kagum pada gaya bercerita seorang penulis, meski dia sudah menyandang nama besar dan karyanya selalu dibicarakan. Sebab, ini bisa mempengaruhi langkah kepenulisanmu. Tanpa sadar kau akan mengikuti gaya berceritanya, karena menganggap itulah yang paling benar. Jika sudah sampai parah tingkat kekagumanmu, maka ucapkanlah selamat tinggal pada identitasmu. Kau hanya mendapat label pengikut. Tak lebih.
Mengamati gaya bercerita penulis yang punya nama besar memang mutlak kau lakukan. Namun, jangan hanya terpaku pada satu nama. Sebab, sesungguhnya, masing-masing penulis punya gaya yang berbeda. Bila cermat, kau akan menemukan kelebihan dan kekurangannya. Patut juga diingat, tak semua karya penulis yang kau kagumi itu baik. Kadang karya mereka juga tak sempurna. Sayangnya, karena terlalu kagum, kau tak bisa melihat tak kesempurnaan itu.

Kamis, 06 November 2014

CATATAN FARICK ZIAT #3

Lanjutan Tips Menulis Fiksi: Catatan Farick Ziat #2



CATATAN 10

Sulit kau temukan cerita yang benar-benar murni, tak pernah ditulis orang lain. Sejarah kepenulisan sudah begitu panjang. Bukan lagi dalam hitungan tahun. Tapi, abad. Kau tak mungkin mengingat semua cerita yang pernah ada. Terlalu banyak. Dalam bentuk dongeng, cerpen, novel, naskah panggung, hingga film. Benakmu tak cukup ruang untuk menyimpannya.
Mengingat-ingat cerita yang pernah ada, sesungguhnya, hanya membuang waktu. Percuma. Pasti akan kau temui kemiripan. Cuma cara penyampaian cerita yang membedakannya. Dan ini bagian yang harus kau pilih: sudut pandang. Kau tentu tahu, masing-masing sudut pandang punya alur sendiri. Ini yang akan membedakannya.
Jadi, kau tak perlu ragu dan takut dinilai peniru. Kau pasti punya sudut pandang yang beda. Kecuali kau memang niat melakukan itu: MENIRU!
sumber gambar: http://ihsanismail947.wordpress.com/2013/12/07/anti-plagiat/
CATATAN 11

Mungkin kau bermimpi untuk menjadi penulis produktif. Karena itu kau selalu menulis, menulis dan terus menulis. Tak heran bila kau bisa mengirim banyak karyamu ke media. Semangat dan mimpi ini memacumu untuk terus bergelut dengan kata-kata. Dan tentu saja sangat berguna. Namun, bila kau cermati, sesungguhnya ada juga sisi buruknya. Kau bisa lepas kontrol akan hasil karyamu sendiri.
Mengirim karya sebanyak-banyak pada satu media, apalagi dalam saat yang sama, punya risiko yang seharusnya kau pertimbangkan lebih dulu. Sebab, dari sekian banyak karya yang kau kirim itu, hanya satu yang akan dipilih. Sebaliknya, setelah membaca satu dua karyamu, namun dianggap tak memenuhi persyaratan, karyamu yang lain pasti tak lagi menarik perhatian.



CATATAN 12

Dari mana ide itu bermula? Bisa beragam jawabnya. Lingkungan sekitar, bacaan, film, curhatan seseorang dan banyak lagi kemungkinan lain. Namun, kenapa tema yang ditulis tak beragam? Kenapa hanya tema cinta yang melintas di benak saat hendak merangkai cerita? Pertanyaan ini kerap muncul, tapi tak perlu membuat risau. Sebab, tak ada salahnya juga menulis tentang cinta.

Jika kau pikir, hanya tema cinta yang disuka media dan pembaca, inilah yang harus diluruskan. Percayalah, itu tak benar. Jika hanya tema cinta yang selalu muncul, itu bukan keharusan. Melainkan memang tak ada pilihan lain. Semua asyik mengulik romantika cinta dari berbagai sisi. Padahal, cerita tentang persahabatan, realita sosial dan masalah keluarga, juga punya daya pikat yang beda.

Jadi, tak ada salahnya, bila kau mencoba menulis cerita yang temanya di luar cinta. Ini bisa menjadi tantangan untuk kreativitasmu.

Selasa, 04 November 2014

CATATAN FARICK ZIAT #2



Lanjutan Tips Menulis Fiksi: Catatan Farick Ziat, Editor Majalah Gadis.

CATATAN 7
Akhir cerita yang memikat bisa kau jadikan alinea pembuka untuk menggoda. Ini asyik. Sebab, kau langsung masuk pada suasana yang menjadi roh cerita. Tentu saja dibutuhkan kecermatan merangkai kilas balik agar bangunan konflik yang melatarinya menjadi jelas. Tanpa kemampuan itu ceritamu cuma bisa menghentak di awal , tapi kelanjutannya membingungkan.
Sebenarnya, alur yang menggunakan gaya kilas balik ini banyak sekali digunakan. Namun, sedikit sekali yang berhasil menyelesaikannya dengan indah. Entah kenapa, bagi penulis baru, gaya ini sepertinya jarang digunakan. Mereka lebih memilih alur yang umum: awal – konflik – akhir cerita. Ini menjadi pakem yang dirasa paling aman.
Jadi, bila kau merasa bosan mengunakan alur yang umum, tak ada salahnya mencoba gaya kilas balik. Jangan ragu. Percayalah. Gaya ini asyik.

CATATAN 8
Tatapannya setajam elang, rahangnya kukuh, pintar, jago basket dan popular di sekolah. Inilah ciri cowok yang selalu digunakan dalam fiksi remaja. Kau tak bisa protes kenyataan yang sudah terpapar bertahun lamanya. Namun, kau bisa menghindarinya. Minimal tokohmu tak harus seperti itu. Tak perlu sesempurna itu.
Coba ingat, sudah berapa banyak kau temukan tokoh sesempurna itu dalam fiksi remaja? Pasti tak terhitung lagi. Tokoh kloning ini seakan menjadi kewajiban buat penulis pemula. Akibatnya, karena terlalu sering digunakan, keistimewaannya luntur. Malah, jangan-jangan mulai ada yang mencibir karena muak.
Jadi, berpikir panjanglah sebelum menulis tokoh sesempurna itu. Sebab, cerita yang baik tak berkaitan dengan kesempurnaan fisik.

gambar dari pinterest
CATATAN 9
Menemukan tema dan konflik yang kuat memang memudahkan kau dalam menulis cerita. Tinggal memilih sudut pandang yang kau anggap paling pas untuk mulusnya alur. Masalahnya, tak setiap saat kau bisa menemukannya. Dan kau sering terperangkap rasa ragu. Tak tahu harus menulis apa dan memulai dari mana. Sementara keiginan menulis sudah tak tertahankan.
Sesungguhnya, tak ada yang tahu pasti bagaimana cara menemukan tema dan konflik. Tapi, kau bisa menyiasatinya. Memulai dengan kalimat yang kau suka, misalnya. Ingatlah, kadang tanpa sengaja kau menemukan kalimat yang begitu berkesan. Entah dalam dialog film, narasi novel, bahkan percakapan sehari-hari.
Jadi, tak perlulah kau harus menunggu menemukan tema dan konflik yang kuat untuk menulis. Sebab, dengan tema sederhana pun cerita bisa mengalir dengan indah.

Sabtu, 01 November 2014

TIPS MENULIS FIKSI

CATATAN FARICK ZIAT,  Editor Majalah Gadis
link gambar www.mindmapinspiration.com

Semua Catatan Farick Ziat ini saya copas atas izin Mas Farick dari FB-nya tanpa tambahan dan pengurangan, kecuali tambahan gambar/foto.



CATATAN 1
Kau takkan temukan bahasa yang indah jika kau menulis dalam bahasa alay. Percayalah. Ini bukan masalah suka dan tak suka. Tapi, bisa kau bayangkan, saat seorang tokoh mengungkapkan perasaannya dengan bahasa alay. Pasti tak kau temukan nuansa romantisnya.
Sayangnya, bahasa alay inilah yang mewabah belakangan ini di kalangan penulis baru.Ini menjadi tren. Semangat agar diakui sebagai anak gaul, aku kira, yang melatarinya. Salahkah? Tidak juga. Ada beberapa media yang menyukainya. Namun, jelas ada risikonya. Karyamu akan terasa asing saat tren berubah. Entah dengan bahasa apa lagi.
Jadi, gunakanlah bahasa dengan baik agar karyamu tak terasa asing saat zaman berubah. Saat bahasa alay berubah menjadi usang dan asing

CATATAN 2
Mengakhiri konflik dengan dramatik/tragis memang menarik. Meski kadang terasa abai di logika. Misalnya pertengkaran yang berakhir dengan salah satu tokoh menabrakkan diri pada kereta. Lalu, karena menyesal, tokoh satunya gantung diri. Tragis, kan? Namun, dapat dipastikan, dahimu akan berkerut seusai membacanya. Terasa tak masuk logika.
Yah, saat kau meragukan logika yang dipakai dalam bercerita, saat itu pula karya yang kau baca akan terasa mengada-ada dan runtuh keindahannya. Dan ini yang kerap terbaca pada karya penulis baru. Mereka asyik membangun konflik dan mengakhirinya dengan dramatik. Lupa pada unsur yang paling utama dalam cerita: logika.
Jadi, tak perlulah mencari tema yang bombastis dalam menulis. Tema sederhana, yang akrab dengan keseharian , jika kau mampu mengolahnya, pasti akan meninggalkan kesan indah pada pembacanya. Percaya

CATATAN 3
Menulis tentang perasaan seseorang yang sedang menanti kekasihnya di ujung jalan memang mengasyikan. Bisa berlembar-lembar kita menggambarkan kerinduan dan kegelisahannya. Begitu pula dengan tokoh yang sedang menulis surat cinta. Ini bagian yang asyik saat menulis.
Tapi, saat ini, di zaman serba teknologi ini, hal-hal yang asyik itu bisa jadi tinggal kenangan saja. “Kan ada hape? Tinggal sms, bbm dan telepon,” begitu, mungkin, pikirmu. Dan pertanyaan itu jadi terasa mengganggu. Membuat ragu. Kita dituntut mencari alasan yang masuk di akal tentang situasi dan kondisi yang terjadi pada bagian itu agar tulisan tak terasa basi.
Jadi, hindarilah bagian yang akan membuat karyamu berjarak. Teknologi memang telah membunuh beberapa sisi romantis dalam fiksi. Di antaranya, kegelisahan menanti dan surat cinta itu.

CATATAN 4
Ingat. Kau tak perlu sibuk mencari ending kalau kau belum menemukan opening. Dan, seperti kau tahu, opening alias alinea pertama itu, selalu menjadi penentu untuk kelancaran tulisanmu sekaligus penentu apakah karyamu menggoda untuk dibaca atau diabaikan. Tak hanya itu, alinea pertama ini kerap menjadi rambu yang –tanpa disadari—membuat kau sering berhenti untuk memulai sebuah tulisan.
Kau juga akan mudah menemukan jejak penulis baru dari alinea pertama itu. Biasanya tulisannya berputar tanpa arah yang jelas dan memaksakan agar dibilang bahasanya puitis. Misal, “Saat cahaya malam redup, bayangmu menemani langkahku yang gontai menyusuri jalan. Senyummu membuatku perih dan duduk termangu mengingatmu… bla bla bla” Pasti dia memikirkan kalimat ini dengan amat serius agar dipuji bagus. Sayangnya, pembaca keburu tak sabar ingin segera pindah halaman.
Jadi, mulailah alinea pertamamu tanpa bertele-tele, meniadakan yang remeh temeh, langsung menebar racun yang membius hingga alinea terakhir.

CATATAN 5
Ketika alur mencapai titik konflik, kau dihadapkan pada pilihan: mengakhiri dengan sedih, bahagia atau biarkan mereka bermain dengan imajinya sendiri. Pilihan ini tak berkaitan dengan mana yang lebih baik. Semuanya punya alur imaji yang berbeda. Dan kau bebas menentukan pilihan yang pas dengan suasana hatimu.
Mengakhiri cerita dengan terbuka – di mana kau memberi ruang bagi pembaca untuk larut dengan imajinya sendiri – bisa menjadi pilihan bijak. Biarkan mereka menentukan sendiri nasib sang tokoh. Biarkan imajinya ikut bermain. Dan aku percaya, suasana hati yang akan menuntun arahnya.
Jadi, saat situasi ini kau temui, biarkan imajimu menentukan pilihannya. Percayalah. Semuanya punya keasyikan yang beda.

CATATAN 6
Saatnya melupakan cerita yang berawal dari kejadian tak sengaja. Tabrakan di toko buku, misalnya. Ini sudah terlalu sering. Kelanjutannya sudah bisa diduga. Pasti kenalan. Saling terpukau. Lalu bertukar nomor dan janjian. Ini tak lagi istimewa. Malah terkesan usang. Basi.
Sebagus apa pun kau gambarkan kejadian tak sengaja itu, tetap saja kau dianggap meniru, Sia-sia kau yakinkan mereka jika itu tak benar. Sebab, kejadian semacam itu sudah terlalu sering dituliskan Dan itu akan membuat perasaanmu tak nyaman. Merasa karyamu sia-sia.
Jadi, sebelum kau kecewa, lupakanlah menulis cerita yang berawal dari kejadian tak sengaja. Banyak peristiwa lain yang bisa kau pilih.