Sabtu, 27 Mei 2017

KISAH DI UJUNG KASHMIR MERAH

Girls, Girl With A Red Scarf, Reeds Girl

Kain kashmir itu Ayah usap beberapa kali. Rien tidak pernah paham kenapa?
Rien sangat menyukai pashmina dari kain kashmir itu. Kainnya halus dan jatuh. Pasti sangat nyaman untuk jadi aksesoris di lehernya yang panjang. Banyak teman Rien yang melilitkan pashmina di leher mereka. Gaya. Apalagi kain itu asli dari domba-domba lembah Kashmir. India. Rien pernah diam-diam mengambilnya dari lemari Ayah. Dia berkaca dengan kashmir panjang melilit lehernya. Pashmina itu sangat cocok dengan dagunya yang runcing, hidungnya yang tinggi, dan wajah yang dinaungi bulu mata lentik. Rien terkikik geli. Dia merasa menjelma jadi Aiswarya Rai.
“Pinjam dong, Yah. Semalam saja.” Rien mendekati ayahnya yang termangu.
Ayah  menggeleng. “Kamu masih punya yang lain, kan?” Tangan Ayah terjulur ke rak paling atas dan menyimpan kain kashmir merah itu serupa menyimpan benda berharga.
Rien merengut. Padahal pashmina kashmir itu cocok sekali dengan gaun yang akan dipakainya untuk acara promnight. 
“Mungkin itu kado dari …,” Amerul meringis, tak tega mengungkapkan pikirannya.
“Apa?” Alis tebal Rien naik. Mata gelapnya melebar, “Mantan pacar Ayah? Selingkuhan Ayah? Klise, ah, ceritanya!”
Rien kadang jadi berpikir yang tidak-tidak.  Tapi Bunda hanya tersenyum jika ditanya.
“Kebanyakan nonton gosip, ah!” Bunda mencubit hidung Rien.
#####
Kashmir merah itu sekarang ada di atas meja. Menutupi meja dengan sempurna. Ada inisial nama yang Rien lihat di ujungnya. MM. Kenapa ia tak melihat sebelumnya, ya?
"Bunda …!" Rien menatap inisial di ujung kashmir itu dengan marah. “MM? Bunda tahu siapa? Perempuan pemilik pashmina ini, kan?”
Bunda hanya mengangguk. Meremas pundak Rien dengan sayang.
“Bunda nggak cemburu?” Rien heran melihat ekspresi wajah Bunda. Tak ada kemarahan seperti yang biasa ia tunjukkan pada Amerul jika cowok itu membicarakan cewek lain.
“Cemburu sama siapa?” Bunda geli.
“Tante Dini pernah cerita kalau kashmir ini milik seorang perempuan. Mantan wartawati!” suara Rien penuh tekanan.
Bunda membelai rambut Rien. Lalu mengecupnya.
#####
Rien tahu bagaimana perasaan seorang perempuan. Rien sudah dewasa, sebentar lagi menyandang gelar mahasiswi. Membayangkan perasaan Bunda jika melihat Ayah memandangi dan mengusap-usap kashmir hadiah dari perempuan lain selalu membuat emosinya memuncak.
“Masih memikirkan kashmir penuh rahasia itu?” Amerul tersenyum. Menatap gadis di sebelahnya yang mengatupkan bibir rapat.
Kepalanya berpaling ke arah Amerul. Hela napas Rien terasa berat.  
“Kemarin aku liat ayahmu.” Amerul duduk di salah satu bangku. Mereka sedang menikmati es dawet cincau dan siomay di salah satu shelter dekat pintu depan GOR Manahan. “Di Kopi Tiam.”
Rien mengedikkan bahu. Tak antusias. Bukan berita penting. Ayahnya biasa makan di luar saat jam kerja. Mulutnya mengunyah kentang pelan.
“Dia dengan seseorang.”
“Perempuan?” Rien menghadapkan badan ke Amerul penuh minat.
“Nggak, sih. Laki-laki. Ganteng dan … kerenlah.”
“Ih, kamu naksir dia?” Rien menahan tawa.
“Ngacau!”
Rien terbahak. Amerul menjitak dengan gemas, sekaligus lega. Dia paling senang mendengar tawa Rien yang renyah. Sudah lama ia kehilangan tawa itu.
“Justru aku penasaran. Siapa lelaki yang bersama ayahmu itu.” Amerul menelan cincaunya. “Soalnya ayahmu berkali-kali menepuk-nepuk lengannya. Mereka kelihatan seperti …,” Amerul menggaruk tengkuknya.
“Seperti apa? Jangan sepotong-sepotong gitu. Bikin penasaran!”
“Agak aneh aja dua pria duduk berdekatan hmm … mes….”
Amerul belum sempat melanjutkan kalimatnya. Kepalan tangan mungil Rien bertubi-tubi mendarat di pundaknya. “Ameruuuulll! Jangan ngelantur! Ayahku lelaki sejati. Pria normaaalll!” Rien terus memukul sementara Amerul meringis menahan sakit.
“Sebentar,” Amerul menahan tangan Rien. “Aku seperti familiar dengan wajah pria itu. Satu lagi, untuk apa sehelai kain merah di depan mereka?”
#####
“Boleh tanya sesuatu, Bun?” Rien hati-hati bicara. Bunda sedang menyemprotkan vitamin pada koleksi tanamannya di kebun belakang.
“Tanya apa, sih? Biasanya kamu lebih suka tanya ke Ayah.”
Rien menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering.
“Jawab jujur, ya, Bun. Selama ini Ayah gimana, sih, Bun? Maksud Rien, Bunda bahagia, nggak, jadi istri Ayah?”
“Ya ampuuun, Rien. Ada apa, sih?”
“Jawab aja, Bun.” Rien membuntuti Bunda yang berpindah dari satu tanaman ke tanaman yang lain.
Bunda menatap Rien bingung.
“Perempuan mana, sih, yang tak bahagia punya suami seperti ayahmu. Penuh perhatian, setia, selalu ada saat dibutuhkan. Paket lengkap, deh.” Mata Bunda berkedip. Ada kilau cemerlang. Tanda kebahagiaan.
 “Kemarin Amerul liat Ayah bersama seorang lelaki,” Rien melirik Bunda, “di Kopi Tiam.”
Bunda menghela napas. “Ayah cerita ke Bunda.”
“Siapa dia?” Rien tak sabar ingin tahu.
“Sahabat lama Ayah.”
“Hanya sahabat?” kejar Rien.
“Maksud kamu?” Bunda mengernyit.
“Nggak ada hubungan lain? Kenapa Ayah membawa kain kashmir itu juga?”
Bunda tertegun, dan segera menutupinya dengan senyum. Samar. Tangannya menggeser pot yang ditanami pohon suplir, menyapu semut yang bersembunyi di bawahnya. Meski sekilas, Rien dapat melihat mata Bunda mengerjap. Rien terpekur. Dia tak berani mengejar Bunda dengan rasa penasarannya. Rien tak ingin melihat wajah Bunda berkabut. Senyum Bunda adalah segalanya.
#####
“Ayah bukan seperti yang kamu duga. Tapi kashmir itu memang ada ceritanya.” Ayah melirik Bunda sekilas.
“Sebelumnya Ayah dan Bunda ingin kamu tahu, bahwa apapun ceritanya nanti, tetaplah berpikir tenang, tidak emosi.” Jakun Ayah naik turun. “Kamu sudah dewasa. Ayah yakin kamu bisa bertindak bijak. Satu lagi. Kamu adalah cinta kami, apapun yang terjadi.”
 Rumah itu sunyi tapi tercipta gemuruh di dada masing-masing.
“Dulu Ayah punya sahabat. Dia wartawati. Suatu hari dia bertugas meliput ekspedisi puncak Himalaya. Dia memang spesial di bidang itu. Umur manusia memang rahasia. Saat di kilometer 5000 salju longsor. Banyak pendaki yang menjadi korban. Dia salah satunya.” Ayah menghela napas dalam-dalam. Suaranya parau.
Rien mendesah prihatin. Bunda mengusap pipinya berkali-kali, bahkan sebelum Ayah bercerita.
“Suaminya syok berat. Apalagi mereka memiliki anak yang baru berumur dua tahun. Dia memutuskan pergi ke luar negeri. Leiden. Untuk menghapus semua kenangan tentang istrinya. Meski kenangan tak bisa kita hapus dari hidup kita, tapi kita bisa mengisinya dengan kenangan baru.”
“Anaknya dibawa?” sela Rien.
Ayah bersandar pada sofa. “Ini bagian yang paling sulit, Rien. Tapi Ayah harus cerita yang sebenarnya.” 
Rien merasa aneh. Seperti ada bongkahan es menyelimuti dadanya. Punggungnya tegak. Bunda menggenggam tangan Rien makin erat.
“Anak itu mengingatkannya pada istrinya. Kenangan yang ingin ia lupakan. Dia meninggalkannya. Bukan, dia hanya ingin anaknya tumbuh bahagia. Itu artinya tidak bersamanya. ”
“Bagaimana bisa?” Bibir Rien mengerut.
Ayah menyapu rambut ke belakang dengan sepuluh jarinya. Mengambil napas dalam-dalam. Mengontrol emosi.
“Beberapa tahun kemudian dia pulang dan berniat membawa anaknya. Tapi urung. Dia tak ingin merusak kebahagiaan anaknya. Meskipun keinginan untuk memeluk dan kerinduan yang sangat melanda tapi dia memilih mengalah. Kebahagiaan anaknya lebih penting. Dia menunggu waktu yang tepat. Kemarin dia datang menemui Ayah, karena dia merasa ini waktu yang tepat.”
“Apa hubungannya dengan kashmir yang disimpan Ayah?” Kain kashmir penuh rahasia itu menggoda pikiran Rien.
“Tim SAR yang mencari para pendaki menemukan kain kashmir merah. Inisial di ujung kain itulah yang menunjukkan kalau itu milik wartawati sahabat Ayah.”  
“Jadi, itu milik istri lelaki yang Ayah temui di Kopi Tiam?”
Ayah mengangguk. Rahangnya mengeras. Bibirnya berkedut. Gelisah.
“MM. Inisial di kain itu. Madhavi Mohan.”
“Seperti namaku?” Rien bergumam. Kepalanya berdenyut memikirkan ujung cerita Ayah.
Waktu seperti membeku. Tak ada suara. Tak ada yang bergerak.
“Itu memang namamu.” Ayah makin tegang.
“Harusnya RMM!” Kepala Rien makin berdenyut.
“Rien adalah nama yang kami tambahkan.”
Isak Bunda memecah ruang bisu.
“Jadi ….” Air mata Rien tumpah. Dia menatap orang tuanya dengan mata membelalak. Ada luka, kesedihan, bercampur tak percaya dari sorotnya. Bunda memeluk Rien erat. Rien kaku seperti kayu.
 “Kamu tetap anak kami, Sayang. Meski bukan tumbuh dari rahim Bunda, tapi kamu tumbuh dari cinta kami, dari jiwa kami.” Bunda terisak.  

 Rien balas memeluk Bunda. Erat. 

Cerpen ini ngendon luamaaa di folder. Ditulis waktu awal-awal ikut kelas Penulis Tangguh. Pernah saya kirim ke majalah tapi nggak dimuat. Memang alur dan karakter tokohnya ancuur, sih. Endingnya juga nggak jelas banget. Ketawa sendiri bacanya. Daripada mubazir dan menuhin kompi, post di sini aja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung dan memberi komentar.