GADIS
MANGROVE
Oleh Rien Dj
Gadis Mangrove, dimuat di Majalah Gadis edisi ke-23, November 2016 |
Suara (burung_edit.)
rana yang dilepas terdengar di tengah kesunyian hutan bakau. Aku mendongak dari
aktivitas mengambil
buah bogem atau pedada yang berjatuhan di tanah berlumpur. Lagi-lagi aku melihat cowok itu.
Seperti kemarin, dengan kamera moncong panjang dan tripod. Aku meneruskan pekerjaan.
Pesanan sirup sedikit meningkat di musim panas. Syukurlah buah mirip kesemek dengan ujung
datar itu sedang berbuah lebat.
Klik!
Lagi-lagi aku mendengar
suara rana dilepas. Kali ini, aku tak
menoleh karena tahu siapa sumbernya. Meski dalam hati tertera pertanyaan, siapa
cowok itu dan mengapa dua hari ini selalu datang ke kawasan hutan mangrove?
Usianya sepertinya tak terpaut jauh denganku.
Harusnya dia masih sekolah atau paling tidak kuliah,
kecuali dia bekerja sambilan sebagai fotografer. Namun, fotografer
yang datang ke sini biasanya menyapaku
dan bertanya banyak hal demi kebutuhan hasil
jepretannya. Cowok itu hanya memotret,
kadang menatapku sekilas lalu sibuk mengintip lubang
kameranya.
“Kenapa
nggak minta Ayah
saja yang mengambil bogemnya?” Ayah menyampirkan
topi di gantungan dekat pintu. “Katamu
sekarang sedang banyak tugas sekolah?”
Aku
tersenyum. “Ayah,
kan, sedang sibuk menerima tamu.” Sebetulnya bukan itu
satu-satunya alasanku.
Berada di dalam hutan bakau, menyentuh dedaunannya yang hijau bagiku seperti bercanda dengan
sahabat. Kadang aku berbicara
dengan kepiting, udang, atau menimpali cericit burung. Hutan mangrove ini telah
menjadi jiwaku.
Juga jiwa Ayah
dan Ibu.
Ada sejarah pahit sebelum akhirnya Ayah berjanji
untuk membaktikan hidupnya demi hutan mangrove. Ayah dulu
melakukan kesalahan dengan mengabaikan peringatan Ibu tentang
efek menebang pohon mangrove hingga habis. Ayah baru tersadar setelah satu
pemukiman hancur diterjang gelombang besar sebab tak ada akar-akar mangrove yang
menjadi pemecah ombak besar.
Aku segera beranjak ke dapur dan
membantu Ibu mengupas buah bogem satu per satu sambil menunggu kedatangan Mbak
Ninuk dan Bulik Dian. Keduanya warga di sekitar hutan mangrove yang masih setia
membantu kami di dapur. Membuat sirup dari bogem, membuat cake tepung buah tancang
dan berbagai olahan makanan dari hutan mangrove.
“Tepung tancang kita sudah mulai menipis. Ibu mau mencoba
mempraktikkan cake tancang basah seperti yang kamu tunjukkan kemarin,” kata Ibu sambil menambahkan air ke dalam
panci.
Membuat tepung tancang memang membutuhkan waktu lebih lama. Kemarin aku menemukan
cara membuat cake tancang basah
setelah browsing seharian. Artinya
tancang tak harus dijadikan tepung kering dulu.
***
Hari
ini aku mengikuti Ayah naik perahu motor
menyusuri pantai. Sementara aku akan
mengumpulkan buah tancang dari hutan mangrove yang lebih jauh, Ayah akan mengecek
apakah masih ada penduduk yang menebang pohon bakau. Ayah sudah sering memberi
pengarahan bahaya menebang hutan mangrove. Namun, tak semua memiliki kesadaran
yang sama. Ini
bukan pekerjaan mudah. Ayah tahu persis
itu.
Aku
sudah duduk di dalam perahu ketika tiba-tiba cowok
kamera itu muncul dan langsung meloncat ke dalam perahu, membuat perahu sedikit
oleng. Aku mengernyit. Apa-apaan
cowok itu asal numpang perahu Ayah?
“Sudah
banyak objek foto yang berhasil dijepret?” tanya Ayah ramah.
“Lumayan,
sih, Pak,” cowok itu memperbaiki duduknya saat Ayah menyalakan mesin dan perahu meluncur
membelah pantai.
“Coba
nanti ikut Iera ke hutan yang di sana. Mungkin Nak Iko bisa dapat objek berbeda
dan lebih menarik.”
Oh, jadi nama cowok itu
Iko? Nah, sejak kapan Ayah dan
Iko berkenalan? Mengapa mereka tampak sudah akrab?
“Iera
kamu bisa minta dipotret sama Nak Iko. Mumpung ada fotografer di sini,” kata
Ayah sambil tertawa.
Aku
mencelupkan tangan ke dalam air hingga membentuk alur
di belakang. Kebiasaanku tiap menaiki perahu.
“Apaan, sih, Ayah. Iera, kan, nggak suka jual tampang.”
“Emang
laku gitu tampang kamu dijual?” Tawa Ayah pecah di antara deru mesin perahu.
Aku melirik tajam Iko yang ikut tertawa
pelan.
“Ih,
Ayah!” Aku mengerucutkan bibirku tanda kesal. “Fotografer
yang datang ke sini,
kan, nggak cuma baru kali ini.”