Saya tak begitu berharap naskah ini akan dimuat. Karena ini naskah gado-gado pertama yang saya tulis. Pada tanggal 10 Januari saya kaget saat menerima sms dari redaksi Femina. Saya buru-buru melihat email, dan ternyata sudah ada surat pernyataan keaslian naskah yang harus segera saya tanda tangani dan kirim balik.
Berhubung saya tidak punya scanner, suami pun mengajak saya ke warnet yang menyediakan peralatan lengkap. Mungkin karena gugup dan terburu-buru plus mouse warnet yang error, saya mesti mengulang pengiriman form ke Femina sampai 3 kali. Tentu saja dengan permintaan maaf yang tak terhingga.
Akhirnya di edisi ke-5 tahun 2014 (tgl 30-an Januari) naskah Gado-Gado saya tayang. Judulnya dipotong menjadi Undangan. Selain itu, hampir tak ada perubahan yang dilakukan redaktur, kecuali tambahan di akhir kalimat: hahaha ... :D
“Tidak menerima sumbangan
dalam bentuk barang atau karangan bunga”. Awal mula membaca undangan dengan
selipan kalimat seperti itu di bagian bawah kartu, saya mengernyitkan dahi. Maklum
waktu itu kami tinggal di kampung, sehingga memberi bunga sebagai hadiah
bukanlah tradisi kami. Jadi, kenapa harus tertulis permintaan seperti itu?
Tapi, akhirnya kami terbiasa dengan hal itu bahkan sekarang tak perlu bingung
antara memberi kado (barang) atau uang. Maka, sesaat sebelum pergi ke resepsi,
kami sudah menyiapkan amplop atau mampir dulu ke warung yang dilewati jika
persediaan amplop di rumah habis. Kalau tak punya kartu nama, cukup menuliskan
nama dan alamat singkat dengan pena di bagian depan amplop. Beres.
Nah, lain pemilik hajat
lain pula gaya undangannya. Saya pernah menerima undangan dengan tulisan “tanpa
mengurangi rasa hormat, kami tidak menerima sumbangan dalam bentuk apa pun”. Ya,
karena sudah tertera seperti itu, saya pun mendatangi resepsi tanpa perlu
mempersiapkan sumbangan apapun. Eh, tapi, ternyata pemberitahuan ini tak begitu
saja dituruti oleh tamu. Atas dasar pekewuh karena datang hanya untuk makan,
para tamu ternyata tetap mempersiapkan sumbangan (uang/barang). Jika membawa
kado atau bingkisan, mereka akan menyodorkan kepada salah satu penerima tamu
atau saudara di empunya hajat (jika kenal). Sementara jika yang disiapkan
adalah uang, maka saat berpamitan, dengan gesit para tamu menyelipkan amplop ke
tangan pemilik hajat saat bersalaman. Biasanya saat seperti ini akan kita lihat
adegan singkat yang menarik. Antara tamu dan pemilik hajat akan saling tarik
ulur. Yang satu berusaha menolak, yang satu berusaha memberi. Tergantung niat
mana yang paling kuat, antara tamu dan pemilik hajat, sehingga amplop itu akan berpindah
tangan atau tetap. Jika pemilik hajat ternyata menerima, meski dengan wajah
tampak enggan, tamu yang lain akan mengikuti taktik itu. Giliran tamu seperti saya
ini yang blingsatan. Tak enak rasanya kalau tak ikut menyelipkan amplop saat
bersalaman. Dalam kondisi kepepet, ide biasanya muncul, kan. Nah, tanpa pikir
panjang, saya menyobek kertas (saya
memang biasa membawa buku tulis di dalam tas) dan menjadikannya amplop darurat.
Jika tak ada kertas, seperti yang dilakukan kakak saya, lembaran tisu bisa
menjadi penyelamat. Tentu saja, saat memberikannya kami harus berani menanggung
malu. Dan dalam hati, saya berjanji akan selalu menyediakan amplop kosong di
tas.
Amplop putih polos
ternyata membawa banyak cerita. Lain saya, lain pula ibu saya (almarhumah). Ibu
biasa menyimpan amplop sebagai persediaan di clutchnya. Suatu saat, Ibu
menghadiri undangan. Seperti biasa, Ibu memasukkan amplop ke dalam kotak yang
tersedia. Ibu duduk menikmati acara hingga selesai. Kebetulan Ibu berencana
akan langsung kontrol ke dokter langganan sepulang dari resepsi.
“Kartunya sudah dibawa,
kan?” kebiasaan Bapak menanyakan pada Ibu, karena Ibu sering lupa.
“Sudah,” jawab Ibu. Tapi
untuk memastikan, Ibu mencari kartu periksa (kartu periksa Ibu lebih dari satu
karena Ibu harus ke beberapa dokter sesuai keluhannya). Dicarinya satu per satu
di dalam clutchnya. Ibu yakin sudah memasukkan kartu itu tadi di dalam amplop
tersendiri agar mudah dicari. Selain untuk sumbangan, Ibu biasa menyimpan
berbagai kartu di dalam amplop juga. Kartu identitas, askes, juga kartu periksa
ke dokter.
“Bawa, enggak?” Bapak yang
masih melihat Ibu sibuk mengorek-ngorek clutchnya kembali bertanya.
“Waduh,” kata Ibu ketika
menemukan amplop sumbangan berisi uang dan tulisan namanya di dalam tas. Ibu
mulai was-was karena tak menemukan amplop berisi kartu periksa, tetapi justru
menemukan amplp berisi uang sumbangan.
“Keliru amplop,” wajah Ibu
tampak masygul. “Piye, Pak?”
Akhirnya setelah rela
disalahkan Bapak, mereka berbalik ke tempat hajatan. Untunglah Bapak dengan
sifat santainya menjelaskan kesalahan amplop yang dimasukkan Ibu. Bapak
memberikan amplop berisi sumbangan, sementara si pemilik hajat segera mencari
amplop kartu periksa Ibu di antara amplop yang menggunung.Hahaha
Rien Dj -- Sukoharjo, Jateng
lucu ya, pengalaman ibu mbak Rini :D yg kuingat sejak aku remaja, kalau lihat undangan manten. Saat aku remaja (awal tahun 1990-an), tradisi sumbangan uang baru mulai marak, menggantikan kebiasaan memberi hadiah bingkisan. Nah, yg aku nggak pernah lupa sampai sekarang, dulu di awal2 tradisi sumbang uang itu, undangan mantennya ada gambar pundi :D kode gitu, biar yg diulemi paham apa maksudnya :D
BalasHapusBorgata Hotel Casino & Spa Jobs, Employment | JTM Hub
BalasHapusThe Borgata Hotel Casino 오산 출장샵 & 세종특별자치 출장마사지 Spa jobs listed 강릉 출장안마 on the Job Search and find out 여수 출장마사지 what works well at JTM 영주 출장안마 Hub!