Naskah untuk Percikan di Majalah GADIS ini aslinya berjudul "Go Green, Sih ...". Ternyata ketika tayang kata "sih" nya dibuang dan jadilah judul "Go Green" saja. Naskah berjumlah 600-an kata ini menjadi kejutan bagi saya dan teman-teman di komunitas Penulis Tangguh karena hanya dalam waktu 2 pekan menunggu sudah dimuat. Alhamdulillah. Honor pun cair sesuai jadwal dan jumlah nominalnya sangat lumayan.
Go
Green
Oleh
Rien Dj
“Enggak
usah pakai tisu, Ma. Mulai sekarang pakai sapu tangan aja.”
Mama
pusing dengan ceramah Mia. Dari mulai tak boleh beli tisu, ke mana-mana bawa
botol minum, beli sayur bawa mangkuk sendiri alih-alih pakai plastik dari si
penjual seperti biasa.
“Duh,
ribet.” Itu keluh Mama dan si Jo, adik Mia.
“Ini
demi masa depan bumi kita. Sekarang bumi mulai rusak karena ulah kita. Nebang
pohon sembarangan. Sekarang malah ngebakar hutan. Mereka tak sadar kalau ngancurin masa depan!” Bibir Mia
bergerak cepat, matanya melebar, tangannya bergerak ke sana ke mari.
Mama
dan Jo manggut-manggut.
“Mulai
sekarang, Mama tak boleh buang plastik sembarangan. Lebih baik, sih, didaur
ulang. Karena plastik butuh waktu 500 tahun untuk bisa hancur, padahal kita
pakai paling cuma 5 menit!”
Mama
dan Jo berpandangan. Kening mereka berkerut.
“Berita
buruknya lagi, Indonesia menyumbang sampah plastik 10 persen di dunia.
Penyumbang terbanyak setelah China. Malu, kan, kita?”
Mama
dan Jo manggut-manggut. Lagi.
Jadi,
sudah hampir sebulan ini Mia ikut dalam kelompok Ijoku. Itu karena, ketua Ijoku
adalah Dana. Cowok cool, yang ke
mana-mana menaiki sepeda federal-nya plus helm ala orang luar negeri. Sudah
lama Mia pingin kenal, tak sekadar mengangguk ketika berpapasan. Sebetulnya Mia
naksir juga, sih. Meski tinggal satu kompleks, tapi Dana tidak satu sekolah
dengannya. Mau pura-pura pinjem buku atau soal tes semesteran, juga tak
mungkin, karena Dana satu tingkat di atas Mia.
Ketika
ada brosur yang dibawa mamanya sepulang PKK, Mia tak perlu berpikir lagi.
Brosur berisi perekrutan anggota baru Ijoku. Duuh, Mia jadi semangat. Semangat
ketemu Dana, sih, sebetulnya.
Waktu
Dana menjelaskan sejarah Ijoku, misi dan visi, serta aksi yang dilakukan, dengan
antusias Mia menyimak, tapi wajah Dana yang lebih dia hafal daripada isi
penjelasannya. Sampai-sampai Dana senyum-senyum setiap kali melirik Mia.
“Aku
bangga sama kamu, Mia,” puji Dana saat mereka menyebar brosur berisi ajakan
menghindari pemakaian plastik, sekaligus memunguti sampah plastik di seluruh
kompleks.
“Kenapa
memang?” Mia sedikit gugup karena pujian Dana, sekaligus tak bisa menahan
senyum.
“Aku
pikir kamu anak mama yang manja.” Dana melirik Mia.
“Ih,
enak aja nuduh!” Mia melempar botol plastik bekas air mineral ke arah Dana. Dana
tertawa lepas. Pipi Mia memerah.
Sudah
dua kali pertemuan, Dana tak keliatan. “Memangnya Dana ke mana, sih, Kak?” Mia
tak tahan untuk tidak bertanya pada Bagus, pengganti Dana.
“Lho,
kamu nggak tahu? Dana, kan, kuliah ke Bandung.”
Bibir
Mia melongo. Dana memang bukan apa-apanya Mia. Tapi, sejak bergabung dengan
Ijoku, Dana dan Mia jadi akrab dan dekat. Bahkan Dana sering main ke rumah Mia.
Apakah itu tidak cukup bagi Mia untuk tahu berita sepenting itu dari Dana?
Mia
terpekur di kamarnya. Air mata menetes satu-satu. Gumpalan tisu bertebaran di
seluruh tempat tidur, di lantai, di meja belajar. Sakitnya hati Mia.
Mama
dan Jo terbelalak melihat kondisi Mia dan kamarnya. “Ih, Kakak, kok, pakai
tisu, sih? Sedih, sih, sedih, tapi inget, dong, Kakak sudah menghabiskan satu
pohon. Padahal satu pohon butuh waktu 6 ta … hmptt.”
Mia
membekap mulut Jo lalu mendorongnya keluar kamar. Teganya, si Jo. Bukannya
menghibur. Mia sekarang sudah tak peduli pada aksi-aksi Ijoku. Dia marah pada
Dana. Dada Mia naik turun. Tiba-tiba layar tab-nya menyala. Dana? Mia ragu,
tapi dia segera menghidupkan layar Skype. Wajah Dana yang lelah tapi penuh
senyum tampak.
“Hai
Mia apa kabar? Maaaf banget, ya, aku baru kasih kabar. Semua memang serba
mendadak. Oh ya, aku sudah minta Bagus supaya mengangkatmu jadi sekretaris
Ijoku. Mau, kan, Mia?” Senyum Dana lebar.
“Em
.. em … aku.” Mia kebingungan. Dia sudah telanjur marah, ternyata Dana masih
ingat padanya.
“Eh
Mia, itu di sampingmu apaan, sih?” Wajah Dana makin besar saat mendekat ke
layar, berusaha melihat.
“Oh
… ini prakaryaku,” Mia cepat-cepat menyambar gumpalan-gumpalan tisu sekenanya.
Di pintu kamar Mia, Jo tertawa cekikikan.
Emang keren percikannya. Suka ^_^
BalasHapusAlhamdulillah. Makasih yo Kakak :D
BalasHapusDua minggu. Wow banget, Mbak Rien! (y)
BalasHapusMenarik ceritanya 😊
BalasHapus