Kata onomatope berasal dari Yunani. Onomatope adalah kata tiruan bunyi. Untuk lebih menghidupkan sebuah adegan, penulis sering harus menuliskan suatu bunyi baik dari hewan, benda, ataupun suatu gerakan.
Setiap daerah atau negara sering memiliki tiruan bunyi yang berbeda dari objek yang sama.
Ini beberapa tiruan bunyi atau onomatope dari berbagai sumber dan karangan saya. Akan saya tambahi dan koreksi seiring waktu berjalan ☺
Ayam: kukuruyuk, kok kok
Anjing: guk guk
Kucing: meoong, ngeoong
Kuda: Ngiiik ngiik (kok kayak suara sakit atsma, ya?)
Harimau: auuumm ...
Burung: ciit ciiit
Cicak: ck ck ck
Angin: Wusss
Daun kering terinjak: krosak
Air:
- menetes: tik tik, tes tes
- mengucur: grujuk grujuk
-
Pedang beradu: tring tring
Pedang menusuk: traaash, jleb
Ombak: zraaash
Sandal/sepatu menggesek lantai: sreet sreet
Langkah kaki: Tap tap.
Langkah kaki bersepatu dengan sol keras: Tak tak/tuk tuk/duk duk
Gelas pecah: prang
Benda agak kecil dan banyak tumpah: pyar
Kastil Kata
setiap huruf memiliki loka, setiap kata memiliki makna
Minggu, 07 Juli 2019
Sabtu, 27 Mei 2017
KISAH DI UJUNG KASHMIR MERAH
Kain kashmir itu Ayah usap beberapa kali. Rien tidak pernah paham kenapa?
Rien sangat menyukai pashmina
dari kain kashmir itu. Kainnya halus dan jatuh. Pasti sangat nyaman untuk jadi
aksesoris di lehernya yang panjang. Banyak teman Rien yang melilitkan pashmina
di leher mereka. Gaya. Apalagi kain itu asli dari domba-domba lembah Kashmir.
India. Rien pernah diam-diam mengambilnya dari lemari Ayah. Dia berkaca dengan
kashmir panjang melilit lehernya. Pashmina itu sangat cocok dengan dagunya yang
runcing, hidungnya yang tinggi, dan wajah yang dinaungi bulu mata lentik. Rien
terkikik geli. Dia merasa menjelma jadi Aiswarya Rai.
“Pinjam dong, Yah. Semalam saja.” Rien mendekati ayahnya
yang termangu.
Ayah menggeleng.
“Kamu masih punya yang lain, kan?” Tangan Ayah terjulur ke rak paling atas dan
menyimpan kain kashmir merah itu serupa menyimpan benda berharga.
Rien merengut. Padahal pashmina kashmir itu cocok sekali
dengan gaun yang akan dipakainya untuk acara promnight.
“Mungkin itu kado dari …,” Amerul meringis, tak tega
mengungkapkan pikirannya.
“Apa?” Alis tebal Rien naik. Mata gelapnya melebar, “Mantan
pacar Ayah? Selingkuhan Ayah? Klise, ah, ceritanya!”
Rien kadang jadi berpikir yang tidak-tidak. Tapi Bunda hanya tersenyum jika ditanya.
“Kebanyakan nonton gosip, ah!” Bunda mencubit hidung
Rien.
#####
Kashmir merah itu sekarang
ada di atas meja. Menutupi meja dengan sempurna. Ada inisial nama yang Rien
lihat di ujungnya. MM. Kenapa ia tak melihat sebelumnya, ya?
"Bunda …!" Rien menatap
inisial di ujung kashmir itu dengan marah. “MM? Bunda tahu siapa? Perempuan
pemilik pashmina ini, kan?”
Bunda hanya mengangguk.
Meremas pundak Rien dengan sayang.
“Bunda nggak cemburu?” Rien heran melihat ekspresi wajah
Bunda. Tak ada kemarahan seperti yang biasa ia tunjukkan pada Amerul jika cowok
itu membicarakan cewek lain.
“Cemburu sama siapa?” Bunda geli.
“Tante Dini pernah cerita kalau kashmir ini milik
seorang perempuan. Mantan wartawati!” suara Rien penuh tekanan.
Bunda membelai rambut Rien. Lalu mengecupnya.
#####
Rien tahu bagaimana perasaan
seorang perempuan. Rien sudah dewasa, sebentar lagi menyandang gelar mahasiswi.
Membayangkan perasaan Bunda jika melihat Ayah memandangi dan mengusap-usap
kashmir hadiah dari perempuan lain selalu membuat emosinya memuncak.
“Masih memikirkan kashmir
penuh rahasia itu?” Amerul tersenyum. Menatap gadis di sebelahnya yang
mengatupkan bibir rapat.
Kepalanya berpaling ke arah
Amerul. Hela napas Rien terasa berat.
“Kemarin aku liat ayahmu.” Amerul duduk di salah satu
bangku. Mereka sedang menikmati es dawet cincau dan siomay di salah satu
shelter dekat pintu depan GOR Manahan. “Di Kopi Tiam.”
Rien mengedikkan bahu. Tak antusias. Bukan berita
penting. Ayahnya biasa makan di luar saat jam kerja. Mulutnya mengunyah kentang
pelan.
“Dia dengan seseorang.”
“Perempuan?” Rien menghadapkan badan ke Amerul penuh
minat.
“Nggak, sih. Laki-laki. Ganteng dan … kerenlah.”
“Ih, kamu naksir dia?” Rien menahan tawa.
“Ngacau!”
Rien terbahak. Amerul menjitak dengan gemas, sekaligus
lega. Dia paling senang mendengar tawa Rien yang renyah. Sudah lama ia
kehilangan tawa itu.
“Justru aku penasaran. Siapa lelaki yang bersama ayahmu
itu.” Amerul menelan cincaunya. “Soalnya ayahmu berkali-kali menepuk-nepuk
lengannya. Mereka kelihatan seperti …,” Amerul menggaruk tengkuknya.
“Seperti apa? Jangan sepotong-sepotong gitu. Bikin
penasaran!”
“Agak aneh aja dua pria duduk berdekatan hmm … mes….”
Amerul belum sempat melanjutkan kalimatnya. Kepalan
tangan mungil Rien bertubi-tubi mendarat di pundaknya. “Ameruuuulll! Jangan
ngelantur! Ayahku lelaki sejati. Pria normaaalll!” Rien terus memukul sementara
Amerul meringis menahan sakit.
“Sebentar,” Amerul menahan tangan Rien. “Aku seperti
familiar dengan wajah pria itu. Satu lagi, untuk apa sehelai kain merah di
depan mereka?”
#####
“Boleh tanya sesuatu, Bun?” Rien hati-hati bicara. Bunda
sedang menyemprotkan vitamin pada koleksi tanamannya di kebun belakang.
“Tanya apa, sih? Biasanya kamu lebih suka tanya ke
Ayah.”
Rien menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering.
“Jawab jujur, ya, Bun. Selama ini Ayah gimana, sih, Bun?
Maksud Rien, Bunda bahagia, nggak, jadi istri Ayah?”
“Ya ampuuun, Rien. Ada apa, sih?”
“Jawab aja, Bun.” Rien membuntuti Bunda yang berpindah
dari satu tanaman ke tanaman yang lain.
Bunda menatap Rien bingung.
“Perempuan mana, sih, yang tak bahagia punya suami
seperti ayahmu. Penuh perhatian, setia, selalu ada saat dibutuhkan. Paket
lengkap, deh.” Mata Bunda berkedip. Ada kilau cemerlang. Tanda kebahagiaan.
“Kemarin Amerul liat
Ayah bersama seorang lelaki,” Rien melirik Bunda, “di Kopi Tiam.”
Bunda menghela napas. “Ayah cerita ke Bunda.”
“Siapa dia?” Rien tak sabar ingin tahu.
“Sahabat lama Ayah.”
“Hanya sahabat?” kejar Rien.
“Maksud kamu?” Bunda mengernyit.
“Nggak ada hubungan lain? Kenapa Ayah membawa kain
kashmir itu juga?”
Bunda tertegun, dan segera menutupinya dengan senyum.
Samar. Tangannya menggeser pot yang ditanami pohon suplir, menyapu semut yang
bersembunyi di bawahnya. Meski sekilas, Rien dapat melihat mata Bunda mengerjap.
Rien terpekur. Dia tak berani mengejar Bunda dengan rasa penasarannya. Rien tak
ingin melihat wajah Bunda berkabut. Senyum Bunda adalah segalanya.
#####
“Ayah bukan seperti yang kamu duga. Tapi kashmir itu
memang ada ceritanya.” Ayah melirik Bunda sekilas.
“Sebelumnya Ayah dan Bunda ingin kamu tahu, bahwa apapun
ceritanya nanti, tetaplah berpikir tenang, tidak emosi.” Jakun Ayah naik turun.
“Kamu sudah dewasa. Ayah yakin kamu bisa bertindak bijak. Satu lagi. Kamu
adalah cinta kami, apapun yang terjadi.”
Rumah itu sunyi
tapi tercipta gemuruh di dada masing-masing.
“Dulu Ayah punya sahabat. Dia wartawati. Suatu hari dia
bertugas meliput ekspedisi puncak Himalaya. Dia memang spesial di bidang itu. Umur
manusia memang rahasia. Saat di kilometer 5000 salju longsor. Banyak pendaki
yang menjadi korban. Dia salah satunya.” Ayah menghela napas dalam-dalam.
Suaranya parau.
Rien mendesah prihatin. Bunda mengusap pipinya
berkali-kali, bahkan sebelum Ayah bercerita.
“Suaminya syok berat. Apalagi mereka memiliki anak yang
baru berumur dua tahun. Dia memutuskan pergi ke luar negeri. Leiden. Untuk
menghapus semua kenangan tentang istrinya. Meski kenangan tak bisa kita hapus
dari hidup kita, tapi kita bisa mengisinya dengan kenangan baru.”
“Anaknya dibawa?” sela Rien.
Ayah bersandar pada sofa. “Ini bagian yang paling sulit,
Rien. Tapi Ayah harus cerita yang sebenarnya.”
Rien merasa aneh. Seperti ada bongkahan es menyelimuti
dadanya. Punggungnya tegak. Bunda menggenggam tangan Rien makin erat.
“Anak itu mengingatkannya pada istrinya. Kenangan yang
ingin ia lupakan. Dia meninggalkannya. Bukan, dia hanya ingin anaknya tumbuh
bahagia. Itu artinya tidak bersamanya. ”
“Bagaimana bisa?” Bibir Rien mengerut.
Ayah menyapu rambut ke belakang dengan sepuluh jarinya.
Mengambil napas dalam-dalam. Mengontrol emosi.
“Beberapa tahun kemudian dia pulang dan berniat membawa
anaknya. Tapi urung. Dia tak ingin merusak kebahagiaan anaknya. Meskipun keinginan
untuk memeluk dan kerinduan yang sangat melanda tapi dia memilih mengalah.
Kebahagiaan anaknya lebih penting. Dia menunggu waktu yang tepat. Kemarin dia
datang menemui Ayah, karena dia merasa ini waktu yang tepat.”
“Apa hubungannya dengan kashmir yang disimpan Ayah?” Kain
kashmir penuh rahasia itu menggoda pikiran Rien.
“Tim SAR yang mencari para pendaki menemukan kain
kashmir merah. Inisial di ujung kain itulah yang menunjukkan kalau itu milik
wartawati sahabat Ayah.”
“Jadi, itu milik istri lelaki yang Ayah temui di Kopi
Tiam?”
Ayah mengangguk. Rahangnya mengeras. Bibirnya berkedut.
Gelisah.
“MM. Inisial di kain itu. Madhavi Mohan.”
“Seperti namaku?” Rien bergumam. Kepalanya berdenyut
memikirkan ujung cerita Ayah.
Waktu seperti membeku. Tak ada suara. Tak ada yang
bergerak.
“Itu memang namamu.” Ayah makin tegang.
“Harusnya RMM!” Kepala Rien makin berdenyut.
“Rien adalah nama yang kami tambahkan.”
Isak Bunda memecah ruang bisu.
“Jadi ….” Air mata Rien tumpah. Dia menatap orang tuanya
dengan mata membelalak. Ada luka, kesedihan, bercampur tak percaya dari
sorotnya. Bunda memeluk Rien erat. Rien kaku seperti kayu.
“Kamu tetap anak
kami, Sayang. Meski bukan tumbuh dari rahim Bunda, tapi kamu tumbuh dari cinta kami,
dari jiwa kami.” Bunda terisak.
Rien balas memeluk
Bunda. Erat.
Cerpen ini ngendon luamaaa di folder. Ditulis waktu awal-awal ikut kelas Penulis Tangguh. Pernah saya kirim ke majalah tapi nggak dimuat. Memang alur dan karakter tokohnya ancuur, sih. Endingnya juga nggak jelas banget. Ketawa sendiri bacanya. Daripada mubazir dan menuhin kompi, post di sini aja.
Langganan:
Postingan (Atom)